Tuesday, 1 January 2013

ENDOPARASIT NEMATODA PADA IKAN

BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Penyakit pada ikan merupakan salah satu masalah yang sering dijumpaidalam usaha budidaya ikan. Di Indonesia telah diketahui ada beberapa jenis ikan air tawar, dan diantaranya sering menimbulkan wabah penyakit serta menyebabkankegagalan dalam usaha budidaya ikan (Irawan, 2004).
Secara umum penyakit dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu penyakit infeksi dan non infeksi. Penyakit infeksi disebabkan oleh organisme hidup seperti parasit, jamur, bakteri, dan virus dan penyakit non infeksi disebabkan oleh faktor non hidup seperti pakan, lingkungan, keturunan dan penanganan (Afrianto dan Liviawaty, 2003).
Serangan penyakit dan gangguan hama dapat menyebabkan pertumbuhanikan menjadi lambat (kekerdilan), padat tebar sangat rendah, konveri pakan menjadi tinggi, periode pemeliharaan lebih lama, yang berarti meningkatnya biaya produksi. Dan pada tahap tertentu, serangan penyakit dan gangguan hama tidak hanya menyebabkan menurunnya hasil panen (produksi), tetapi pada tahap yanglebih jauh dapat menyebabkan kegagalan panen (Kordi, 2004).
Pemahaman tentang parasit dan penyakit ikan sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan  produksi  dan  mencegah  kerugian  ekonomi  pada  usaha       budidaya perikanan sehingga ikan dapat dipanen pada waktunya tanpa adanya gangguan dari parasit maupun penyakit ikan (Riauwaty, 2004).
Parasit merupakan organisme yang hidup pada atau di dalam organisme lain dan mengambil makanan dari organisme yang ditumpanginya untuk berkembang biak (Subekti dan Mahasri, 2010). Berdasarkan habitatnya, parasit dalam tubuh ikan dibagi menjadi dua yaitu ektoparasit (parasit yang menyerang bagian luar tubuh ikan, misalnya pada insang, sirip dan kulit), dan endoparasit (parasit yang menyerang bagian dalam tubuh ikan, misalnya usus, ginjal dan hati) (Balai Karantina Ikan Batam, 2007).
Endoparasit adalah parasit yang terdapat di dalam tubuh ikan atau udang. Endoparasit menyerang organ dalam tubuh ikan atau udang. Banyak  Nematoda yang hidup sebagai endoparasit di dalam tubuh ikan (Ghufran, 2004).
Keberadaan endoparasit dapat menyebabkan kematian pada populasi inang dan konsekuensinya dapat menyebabkan kerugian besar bagi industri perikanan. Infeksi endoparasit dapat menyebabkan dampak yang dapat merugikan secara ekonomi, yaitu ikan kehilangan berat badan, penolakan oleh konsumen karena perubahan patologi pada inang, penurunan fekunditas ikan dan penurunan jumlah dalam penetasan ikan dan larva (Anshary, 2008).
Perkembangan endoparasit dalam tubuh ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan, diantaranya suhu dan kandungan bahan kimia suatu perairan (Hassan, 2008). Selain itu, adanya organisme invertebrata yang hidup di sekitar karamba jaring apung juga menjadi faktor penyebaran endoparasit pada ikan, karena organisme tersebut dapat berperan sebagai inang perantara dari beberapa spesies endoparasit (Ruckert et al., 2009).


1.2. Rumusan Masalah
  1. Memberi penjelasan tentang penyakit ikan secara endoparasit
  2. Menjelaskan tentang nematoda pada ikan
  3. Menjelaskan morfologi umum nematoda
  4. Menjelaskan siklus hidup nematoda
  5. Menjelaskan beberapa spesies nematoda yang menyerang ikan
  6. Penanganan ikan yang terserang nematoda

















BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Nematoda
Nematoda sering disebut cacing ”gilig”, merupakan kelas tersendiri dari filum Nemathelmintes. Nematoda merupakan parasit yang sering dijumpai pada ikan (Hirschhorn 1989), dimana ikan dapat bertindak sebagai induk semang antara
maupun induk semang definitif.
Noga (1996) menyatakan bahwa ikan laut biasanya terinfeksi oleh nematoda yang berasal dari golongan Ascaridoidoiea (Contracecum, Pseudoterranova, Anisakis, Cotracaecum), Camallanoidea (Camallanus, Culcullanus), Dracunculoidea (Philonema, Philometra), dan Spiruroidea (Metabronema, Ascarophis). Sebagian besar camallanoids, dracunculoids, danspiruroids memiliki dua induk semang dalam siklus hidupnya dimana ikan bertindak sebagai induk semang definitif. Spirocamallanus dapat bersifat patogen bagi ikan laut tropis (Rychlinski & Deardorff 1982). Truttaedactitras, Philonemadan Philometra umum menyerang populasi ikan di alam dan menimbulkan berbagai kerusakan pada organ tubuh ikan (Dick et al. 1987). Parasit dari kelas nematoda juga dapat bersifat zoonosis atau menginfeksi manusia yang mengkonsumsinya, misalnya Anisakis yang menyebabkan anisakiasis (Pardede, 2000).

2.2. Morfologi Umum Nematoda
            Menurut Buchmann & Bresciani (2001), cacing ini berbentuk panjang, ramping, silindris, tidak bersegmen, dengan kedua ujung meruncing, mempunyai mulut serta anus (saluran pencernaan yang lengkap) serta memiliki rongga tubuh semu yang disebut ”pseudoselom” (Gambar 1) (Noble 1989). Tubuhnya tertutup oleh suatu kantung dermomuskular yang terdiri dari tiga lapisan: kutikula, hipodermis dan otot (Grabda 1991). Penutup luar tubuh (external covering) nematoda berupa suatu lapisan non-selular yang disebut kutikula. Lapisan ini sering disebut sebagai lapisan kitin namun memiliki struktur kimia berbeda dari lapisan kitin eksoskleton arthropoda (Whitlock 1960).
Menurut Grabda (1991), sistem pencernaan nematoda dimulai dengan mulut yang dikelilingi oleh bibir (labia), biasanya terdapat tiga buah bibir (satu terletak dorsal dan dua pada ventro-lateral), yang dapat ditemukan pada spesies Anisakis spp. Pada spesies lain (Contracaecum spp.), terdapat struktur di antara bibir yang disebut interlabia dan ada pula beberapa spesies yang sama sekali tidak memiliki bibir (Philometra spp.). Pada Camallanus spp. mulut terbuka masuk ke dalam kapsul bukal dengan kutikula yang tebal. Mulut berlanjut ke esofagus yang memiliki dinding otot tebal. Pada beberapa spesies, esofagus dan usus dipisahkan oleh kelenjar ventrikulus. Pola hubungan antara esofagus-ventrikulus inilah yang menjadi kunci karakteristik taksonomi untuk mengidentifikasi spesies dari famili Anisakidae. Usus merupakan sebuah tabung lurus yang dibentuk oleh selapis sel-sel usus dan jumlahnya sudah tetap pada masing-masing spesies. Usus berlanjut ke rektum dan akan berakhir pada anus. Pada cacing jantan, vas defferens juga akan bermuara di rektum yang pada beberapa kasus dapat bertindak sebagai kloaka (Grabda 1991).
Menurut Kusumamihardja (1989), nematoda tidak mempunyai sistem peredaran darah. Rongga tubuhnya mengandung haemoglobin, glukosa, protein, garam dan vitamin, yang kesemuanya memenuhi fungsi darah. Sistem sarafnya terdiri atas cincin saraf sekeliling esofagus dan enam saraf posterior yang keluar dari cincin tersebut. Alat indranya terletak pada bibir, daerah serviks, sekitar anus dan sekitar alat kelamin. Sistem ekskresi terdiri atas dua saluran lateral. Kedua saluran tersebut dihubungkan dengan sebuah saluran di daerah esofagus dan saluran yang menghubungkannya dengan lubang pembuangan di daerah ventral daerah esofagus. Bentuk spesifik dari sistem ekskresi ini berbeda-beda pada setiap grup nematoda; dapat berupa bentuk ”H” atau ”U”. Lokasi lubang ekskresi pada nematoda sangat penting dalam sistem taksonomi (Grabda 1991)
Nematoda tidak memiliki sistem pernafasan dan alat kelamin terpisah antara cacing jantan dan betina (Buchmann & Bresciani 2001). Cheng (1973) menyatakan bahwa secara umum nematoda jantan dapat dibedakan dari nematoda betina dari ukuran dan bentuk tubuhnya dimana nematoda jantan memiliki ukuran yang lebih kecil, ujung posterior yang melingkar dan adanya bursa serta beberapa struktur reproduksi tambahan lainnya yang tidak dimiliki oleh nematoda betina.
Sistem reproduksi jantan terdiri atas testis tunggal, satu atau dua buah spikula sebagai alat kopulasi dan kantung gubernakulum pada beberapa spesies (Cheng 1973). Testes akan berlanjut menjadi vas defferens yang merupakan ujung yang kuat dan berotot serta berfungsi sebagai duktus ejakulatoris. Vas defferens akan bermuara di rektum yang berperan sebagai kloaka (Grabda 1991). Rektum yang dilapisi oleh kutikula akan berakhir pada anus. Menurut Cheng (1973), bentuk, ukuran dan jumlah dari spikula kopulatoris dan struktur alat bantu kopulasi lainnya, merupakan unsur yang sangat penting dalam menentukan taksonomi cacing nematoda.
Sistem reproduksi betina terdiri atas dua buah ovarium yang terletak di anterior dan posterior tubuh. Beberapa spesies nematoda hanya memiliki sebuah ovarium yang dapat terletak di bagian anterior atau posterior, oviduk yang berlanjut pada ujung proksimal ovarium, dua buah uterus yang masing-masing berhubungan langsung dengan kedua ovarium serta vagina (Cheng 1973).
Gambar 1. Morfologi umum cacing nematoda (Hirschmann 1960)

2.3. Siklus Hidup Nematoda
Nematoda memiliki siklus hidup yang rumit, berbeda-beda tergantung pada spesies (Yanong 2008) dan melibatkan inang antara invertebrata. Organisme yang mengandung stadium dewasa kelamin dari cacing nematoda ini dikenal sebagai induk semang definitif, sedangkan organisme yang hanya dibutuhkan untuk melengkapi siklus hidup cacing ini tetapi tidak mengandung stadium dewasa kelamin cacing dikenal sebagai induk semang antara (Yanong 2008).
Noga (1996) menyatakan bahwa ikan merupakan induk semang antara sekaligus induk semang definitif bagi perkembangan cacing nematoda. Secara umum, di dalam tubuh ikan, cacing nematoda memiliki lima stadia dalam siklus hidupnya yang dipisahkan oleh empat kali pergantian kulit (moulting) (Buchmann & Bresciani 2001).
Yanong (2008) membagi siklus hidup nematoda menjadi dua kategori utama, yaitu siklus hidup langsung dan tidak langsung. Siklus hidup langsung (Gambar 2), dimana ikan bertindak sebagai induk semang definitif bagi nematoda dan tidak diperlukan induk semang antara sehingga infeksi dapat langsung disebarkan secara langsung dari satu ikan ke ikan lain melalui telur atau larva infektif yang termakan.
Gambar 2. Siklus hidup langsung cacing nematoda (Yanong 2008)

Jika nematoda memiliki siklus hidup tidak langsung (Gambar 3), telur atau larva akan dikeluarkan ke dalam air dan selama proses perkembangannya, larva yang belum dewasa ini setidaknya akan melewati dua organisme yang berbeda yang salah satunya adalah ikan.
Gambar 3. Siklus hidup tidak langsung cacing nematoda (Yanong 2008)

Menurut Yanong (2008), siklus hidup tidak langsung nematoda dapat dibagi lagi menjadi dua subkategori dimana ikan berperan sebagai induk semang definitif atau sebagai induk semang antara (Gambar 4). Siklus hidup tidak langsung dimana ikan merupakan induk semang definitif, apabila cacing nematoda memasuki organisme lain diluar ikan yang pada umumnya adalah invertebrata air seperti golongan kopepoda atau larva insekta yang di dalamnya akan terjadi tahap perkembangan sebelum cacing dimakan oleh ikan. Ketika dimakan oleh ikan yang tepat, cacing akan mencapai kematangan kelamin dan akan bereproduksi di dalam ikan. Siklus hidup tidak langsung dimana ikan merupakan induk semang antara terjadi apabila nematoda hanya menggunakan ikan sebagai perantara sebelum memasuki induk semang definitifnya yaitu organisme lain pemakan ikan seperti ikan yang lebih besar, burung atau mamalia air lainnya.
Gambar 4. Siklus hidup tidak langsung dimana ikan sebagai induk semang antara. Telur atau larva nematoda (a) memasuki induk semang antara invertebrata (b) atau induk semang antara ikan (c) sebelum dimakan oleh atau memasuki tubuh induk semang akhir (definitif), dapat berupa ikan, burung atau mamalia pemakan ikan (Yanong 2008)

Beberapa cacing nematoda memiliki kemampuan bertahan hidup pada organisme alternatif atau yang lebih dikenal sebagai induk semang paratenik (Gambar 5) (Yanong 2008). Induk semang ini tidak dibutuhkan untuk melengkapi siklus hidup cacing tetapi dapat mengandung stadium infektif nematoda dan menjadi sumber infeksi bagi organisme lain. Induk semang paratenik dapat berupa ikan, cacing atau organisme air lainnya yang memakan telur atau larva infektif nematoda.
Gambar 5. Ikan sebagai induk semang paratenik (Yanong 2008)

Yanong (2008) menyatakan bahwa nematoda dapat menginfeksi berbagai spesies ikan baik ikan air tawar maupun ikan laut dimana dalam jumlah kecil sering ditemukan pada ikan yang sehat dan tidak menunjukkan gejala penyakit yang khas namun ikan yang terinfeksi akan mengalami penurunan produktifitas. Dalam lingkungan perairan, ikan dapat terinfeksi nematoda jika memakan ”makanan” hidup yang mengandung larva infektif nematoda atau jika ikan tersebut berperan sebagai inang antara atau yang membawa larva infektif nematoda (Gambar 6) yang pada akhirnya nematoda dapat ditularkan secara langsung dari satu ikan ke ikan yang lain (Yanong 2008).
Gambar 6. Larva nematoda Camallanus spp. di lingkungan perairan (Yanong, 2008)
              Nematoda dewasa biasanya ditemukan dalam saluran pencernaan ikan, meskipun demikian, bergantung pada spesies nematoda dan spesies ikan yang diinfeksinya stadium dewasa maupun stadium lainnya dari cacing nematoda dapat ditemukan hampir di seluruh bagian dari tubuh ikan termasuk pada organ dalam, gelembung renang, kulit, otot, maupun insang (Yanong 2008).

2.4. Beberapa Spesies dari Nematoda yang Menyerang Ikan
              Jenis-jenis nematoda yang kerap menyerang ikan adalah trichuridea Sp, heteroceilidae sp, camallanus sp, dan spinitectus sp. Gejala yang kerap muncul bila ikan terserang penyakit ini adalah ikan menjadi kurang nafsu makan, terjadi implamasi, hemoragik, pembengkakan di perut, produksi lendir secara berlebihan, atau mengalami kerusakan fisik lainnya.
              Pengendaliannya yang bisa dilakukan adalah dengan merendamkan ikan dalam larutan PK 5 mg/l selama 30 menit, pemberian garam dapur 40 mg/l selama 24 jam, serta larutal methylen blue 4 gr/m3. Pada pencegahan, sebaiknya pada pakan alami dilakukan treatment terlebih dahulu, seperti dengan merendam pakan alami dengan larutan PK 5 mg/l selama 30 menit atau dengan disinfeksi telur menggunakan dylox 0,8 pp atau ziram 1 ppm.
              Salah satu spesies nematoda yaitu Genus Anisakis yaitu Cacing parasitik lainnya yang ditemukan teridentifikasi dalam filum Nemathelminthes, kelas Nematoda, subkelas Secernentea, ordo Ascaridida, subordo Ascaridina, famili Anisakidae, genus Anisakis (Grabda 1991). Menurut Smith & Wootten (1978), Anderson (1992), Williams & Jones (1994), Anisakis baik dalam bentuk larva maupun dewasa, merupakan parasit yang sangat umum dijumpai pada spesies ikan air laut.
              Grabda (1991) menyebutkan bahwa Anisakis merupakan golongan cacing nematoda yang berukuran besar dengan tiga buah bibir yang mengelilingi mulutnya. Berdasarkan Koyama et al. (1969), Berland (1989), Ishikura & Namiki (1989), Anderson (2000), Shih & Jeng (2002) dan Shih (2004), identifikasi cacing nematoda famili Ansakidae dilakukan melalui perbandingan karakteristik morfologis dari masing-masing tipe larva.
              Cacing Anisakis memiliki tiga buah bibir yang mengelilingi mulutnya: satu terletak di dorsal dan dua lainnya di sisi ventro-lateral. Beberapa spesies memiliki bibir yang dipisahkan oleh interlabia yang berukuran lebih kecil (Grabda
1991). Adanya bibir yang berkembang baik pada famili Anisakidae dewasa merupakan karakteristik khas yang membedakannya dari famili lain dalam ordo
Ascaridida (Meyers 1975).
Gambar 7. Struktur mulut Anisakis simplex (Anonim 2008)
Kutikula jelas terlihat beralur transversal di sepanjang tubuhnya dan tembus cahaya (Nuchjangreed et al. 2006). Anisakis memiliki esofagus yang lurus, berbentuk silindris atau sedikit mengalami pelebaran di bagian posteriornya, terdiri atas dua bagian, yaitu bagian anterior yang berupa otot dan bagian posterior yang berbentuk kelenjar, dikenal sebagai ventrikulus. Bagian ventrikulus berhubungan dengan usus halus dan bagian terminal dari sistem pencernaannya adalah rektum yang membuka keluar melalui anus dengan tiga kelenjar anal besar yang berasosiasi dengan rektum.
Anisakis tidak memiliki ujung lobus yang tumpul (sekum dan appendiks) pada pertemuan ventrikulus-sekum maupun berbagai variasi konfigurasi esofageal-intestinal seperti pada beberapa genus lainnya dalam famili Anisakidae. Bagian anterior berhubungan langsung dengan appendiks dan bagian posterior dengan sekum (Meyers 1975). Nuchjangreed et al. (2006) menyatakan bahwa ekor Anisakis jantan dewasa dapat teridentifikasi dengan jelas dengan adanya spikula dan bursa kopulatoris. Lubang ekskresi terletak di sebelah ventral yang pada beberapa spesies dapat berada di bagian puncak kepala pada basis ventro-lateral bibir atau di dekat cincin saraf (Grabda 1991).
Gambar 8. Ujung anterior famili Anisakidae stadium ketiga (Meyers 1975)
Siklus hidup cacing genus Anisakis sangat kompleks (Gambar 9). Dixon (2006) menjelaskan siklus hidup Anisakis sebagai berikut: telur dikeluarkan oleh cacing dewasa melalui feses mamalia laut yang berperan sebagai induk semang definitif. Telur tersebut tenggelam ke dasar laut dan kemudian menetas menjadi larva stadium kedua. Larva stadium kedua hidup bebas di dalam air dan dapat bertahan selama beberapa hari hingga minggu tergantung temperatur air. Larva ini
kemudian dimakan oleh krustasea laut yang berperan sebagai induk semang antara
pertama dan akan memfasilitasinya untuk melanjutkan perkembangan hidupnya menjadi larva stadium ketiga yang infektif. Ketika krustasea dimakan oleh ikan, larva stadium ketiga tersebut akan bermigrasi ke berbagai jaringan induk semang antara kedua ini dan berkembang menjadi larva stadium ketiga yang lebih maju serta tinggal menetap di organ dalam atau otot. Saat ikan yang terinfeksi Anisakis ini dimakan oleh induk semang definitifnya, seperti mamalia laut, larva akan dilepaskan ke dalam saluran cerna. Di dalam saluran cerna induk semang definitifnya, larva akan mengalami pergantian kulit (moulting), berkembang menjadi larva stadium keempat dan kemudian menjadi dewasa. Manusia hanya bertindak sebagai induk semang asidental yang tidak memiliki pengaruh terhadap
proses transmisi parasit ini.
Gambar 9. Siklus hidup Anisakis (Anonim 2008)
Distribusi dan lokalisasi infeksi cacing ini pada ikan terbesar ditemukan pada usus kemudian hati dan lambung dan tidak tertutup kemungkinan terjadinya infeksi pada bagian lain dari tubuh ikan seperti sirip, paru-paru, telur di uterus dan insang. Berdasarkan hasil observasi yang sudah pernah dilaporkan, tidak pernah ditemukan adanya migrasi postmortem dari cacing dewasa karena cacing ini tidak dapat bermigrasi ke daging ataupun bagian tubuh dengan tingkat vaskularisasi yang tinggi. Dalamnya distribusi cacing ini mengindikasikan kemampuannya bermigrasi pada lokasi yang berbeda dari organ-organ tubuh ikan (Nuchjangreed
et al. 2006).
Identifikasi terhadap Anisakis dilakukan berdasarkan ciri morfologi dan ukuran tubuhnya. Cacing yang ditemukan tampak jelas memiliki bagian kepala pada ujung anterior tubuhnya dan kutikula yang beralur transversal pada seluruh permukaan tubuhnya (gambar 10).
Gambar 10. Ujung anterior yang memperlihatkan struktur kepala dan kutikula. (a) Anisakis (Nuchjangreed et al. 2006), (b) Anisakis (penelitian, perbesaran 10X)

Cacing Anisakis beresiko terhadap kesehatan manusia melalui dua cara, yaitu melalui infeksi oleh larva cacing yang berasal dari ikan yang dimasak kurang sempurna dan kemudian bermigrasi ke dalam usus atau melalui reaksi alergi oleh bahan kimia yang ditinggalkan cacing pada daging sehingga ikan yang terinfeksi cacing ini dapat menghasilkan reaksi anafilaktik (alergi) pada manusia yang memakannya yang sensitif terhadap immunoglobulin E (IgE) (Anonim 2008). Reaksi anafilaktik inilah yang sering dikenal sebagai ”alergi makanan laut” atau sea food allergy. Anisakiosis menimbulkan gejala yang tidak spesifik bahkan sering tidak terdiagnosa namun pada saluran pencernaan manusia telah terbentuk ulkus akibat memakan larva hidup cacing Anisakis ini. Spesies Anisakidae yang paling sering menyebabkan penyakit pada manusia (bersifat zoonosis) adalah Anisakis simplex dan Pseudoterranova decipiens. Stadium larva infektif cacing parasit ini dapat ditemukan pada seluruh bagian tubuh ikan terutama organ dalam dan otot sejumlah ikan konsumsi dan yang memiliki nilai ekonomi tinggi seperti kembung, salmon, cod, makarel dan termasuk cumi-cumi (Dixon 2006).
            Selain spesies anisakis, spesies Capillaria (gambar. 11) juga termasuk, Capillaria Sp adalah nama jenis cacing dari genus nematoda. Cacing ini merupakan parasit pada sistem pencernaan dan juga pada hati ikan. Capillaria diketahui kerap menyerang ikan Diskus (Symphysodon spp) dan Angelfish (Pterophyllum spp).
Gambar 11. Spesies capillaria Sp
Tanda-tanda penyakit Pada infestasi ringan capillaria sering tidak menimbulkangejala-gejala yang berarti. Sedangkan pada infestasi berat biasanya ditandai dengan gejala “emaciation” atau badan kurus, kehilangan nafsu makan, mengeluarkan kotoran berwarna putih dan tipis, atau kotoran dengan warna berselang-seling antara gelap (hitam) dan terang (putih).
Pada ikan mati, kehadiran cacing ini dapat diketahui dengan melakukan pembedahan dan pengamatan pada isi perut ikan tersebut. Capillaria pada umumnya memilki panjang antara 0.5 sampai 2 cm dengan diameter kurang lebih seukuran dengan rambut. Pada ikan hidup pengamatan dapat dilakukan pada kotoran ikan dibawah mikroskop, dengan mengamati telur Capillaria yang biasanya akan turut serta terbawa kotoran ikan yang bersangkutan.
Kehadiran Capillaria biasanya disebabkan oleh penularan dari ikan lain yang telah terinfeksi sebelumnya. Capillaria tidak memerlukan inang tertentu, sehingga infeksi hanya bisa dilakukan oleh ikan lain yang terinfeksi (dari ikan ke ikan).
Pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan obat-obatan antihelmintic seperti Levamisol atau Piperazine. Sedangkan pencegahan terhadap penularan dilakukan dengan mengisolasi ikan yang tertular dari ikan lainnya. Hal ini dilakukan untuk menghindari penularan melalui kotoran yang dikeluarkan. Kotoran ikan yang terinfeksi pada umumnya akan mengandung telur Capillaria dalam jumlah banyak sehingga akan mudah menular ke ikan lainnya.
            Maka dilanjutkan dengan Ascarophis Sp (pada gambar 11), termasuk Filum Nematoda, Kelas Secernentea, Ordo Spirurida, Sub Ordo Spirurina dan Genus Ascarophis. Ascarophis merupakan jenis parasit dari golongan nematode yang memiliki panjang spikula antara 663-729 pM atau 105-108 pM dan memiliki filament pada kedua kutub telurnya sebanyak masing-masing 2-5 buah. Ascarophis jantan memiliki cir –ciri panjang antara 10,2-22,5 mm, sedangkan yang betina antara 32,8-44,2 mm. Ukuran telur antara 0,030-0,039 mm x 0,015-0,021 mm, dan panjang spicule kiri 0,4-0,6 mm.
Pengobatan terhadap ikan yang terinfeksi dapat dilakukan dengan cara perendaman menggunakan acriflavin 100ppm selama 1 menit atau acriflavin 10ppm selama 60 menit dalam air tawar.
Gambar 11. Ascarophis Sp









BAB III
PENUTUP


3.1. Kesimpulan
            Setiap jenis nematoda memiliki berbagai macam siklus hidupnya. Sehingga siklus hidup nematoda dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu siklus hidup langsung (tidak memerlukan inang perantara) dan siklus hidup tidak langsung (membutuhkan inang perntara).

3.2. Saran
            Banyak jenis-jenis nematoda yang menyerang ikan lainnya yang belum dapat dijelaskan lebih rinci dalam paper ini, dikarenakan tidak mendapatkan waktu yang tepat untuk melakukan kerja kelompok. Oleh karena itu setiap mahasiswa harus lebih aktif mencari materi di internet ataupun buku-buku.










DAFTAR PUSTAKA


Anshary, H. 2008. Modul Pembelajaran Berbasis Student Center Learning (SCL) Mata Kuliah Parasitologi Ikan. Lembaga Kajian dan Pengembangan Pendidikan (LKPP). Universitas Hasanuddin. Makassar. 126 hal.

Balai Karantina Ikan Batam. 2007. Laporan Pemantauan HPI/HPIK Tahun 2007. Balai Karantina Ikan Batam. Batam. 52 hal.

Buchmann K & Bresciani J. 2001. An Introduction to Parasitic Diseases of
Freshwater Trout. Denmark: DSR Publisher.

Cheng T. 1973. General Parasitology. New York: Academic Press.

Dick TA, Choundry A. 1987. Nematoda. Di dalam: Woo PTK, editor. Fish Disease and Disorders. Vol 1, Protozoa and Metazoa Infections. CAB Internasional. hlm 415-423.

Grabda J. 1991. Marine Fish Parasitology. Poland: Polish Scientific Publishers,
Warsawa.

Ghufran. 2004. Avertebrata Air Untuk Mahasiswa Perikanan. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Hassan, M. 2008. Parasites of Native and Exotic Freshwater Fishes in the South-West of Western Australia. Thesis. Murdoch University. Perth, Western Australia. 173 hal.

Hirschmann H. 1960. Reproduction of Nematodes. In Sasser JN & Jenkins WR, eds. Nematology. Chapel Hill. Univ. N. Car. Press. Hlm 140-167.

Irawan .2004. Budidaya Ikan Ait Tawar. Ikan Gurame, Ikan Nila. Kanisius. Yogyakrta.

Kordi .2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan. C.V. Aneka. Solo.
Kusumamihardja S. 1989. Diktat Parasitologi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Yanong RPE. 2002. Nematode (Roundworm) Infection in Fish. Sirkular 911:33570-3434.

Noga EJ. 1996. Fish Disease: Diagnosis and Treatment. Mosby-Year Book, Inc.,
St Louis, MO, pp. 163-170.

Noble ER, Noble GA. 1989. Parasitologi Biologi Parasit Hewan. Edisi ke-5. Wardiarto, Penerjemah; Soeripto N. Editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Parasitology: The Biology of Animal Parasites 5th edition.

Riauwaty. 2004. Ancaman Endoparasit Pada Pembenihan Ikan Gurame diBanyumas dan Upaya Penanggulangannya. Seminar Nasional Penyakit Ikandan Udang.
Ruckert, S., S.Klimpel, S. Al-Quraishy, H. Mehlhorn, and H.W. Palm. 2009. Transmission of Fish Parasites into Grouper Mariculture (Serranidae: Epinephelus coioides (Hamilton, 1882)) in Lampung Bay, Indonesia. Journal Parasitology Reseach (2009) 104: 523-532.

Subekti, S. dan G. Mahasri. 2010. Buku Ajar Parasit dan Penyakit Ikan (Trematodiasis dan Cestodiasis). Global Persada Press. Surabaya. 91 hal.

Cacing benang warna putih, ukuran kecil
        * Tbh dilindungi kutikula, licin, bergaris-garis
           sirkuler
        * Lubang pengeluaran dibagian ventral, di
           posterior mulut
        * Bibir dg 3 buah gigi khitin
        * Anus diujung posterior
        * Dioceous : jantan lebih kecil dr betina, terdpt
           bursa kopulatrik dg spikula : penial spicula
        * Organ sensoris sederhana : rambut taktil/papila
           di posterior : phasmid, anterior, amphid

No comments:

Post a Comment

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Laatar Belakang Kualitas air adalah istilah yang menggambarkan kesesuaian atau kecocokan air untuk pengg...