<
Kualitas dari kehidupan seseorang itu tergantung pada komitmennya utk berhasil bidang apapun yg dia tempuh.
Saturday, 8 June 2013
pencegahan penyakit pada ikan serta pengobatan terhadap penyakit ikan
<
MANAJEMEN KESEHATAN IKAN
OLEH
DIAN FITRIA M
1004114392
JURUSAN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2013
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakag
Perkembangan
budidaya ikan dari sistem tradisional, ekstensif menjadi sistem intensif dirasakan sangat pesat.
Namun perkembangan tersebut telah
banyak menimbulkan masalah. Salah satu masalah yang dirasa sangat serius adalah
masalah penyakit ikan.
Penyakit
ikan biasanya timbul karena adanya interaksi antara tiga factor yaitu
lingkungan, inang dan adanya jasad penyebab penyakit. Apabila ketiga factor
tersebut berada dalam keseimbangan maka tidak akan terjadi masalah penyakit.
Tetapi apabila terjadi perubahan pada salah satu faktor maka akan terjadi ketidak
seimbangan. Hal ini akan dapat menimbulkan masah penyakit ikan.
Dengan
semakin luasnya sebaran areal budidaya ikan, dan semakin majunya perdagangan
serta lalu-lintas ikan hidup, maka penyebaran penyakit ikan akan semakin cepat.
Demikian juga dengan semakin intensif sistem budidaya ikan maka akan semakin
banyak masalah penyakit ikan yang timbul. Dalam keadaan demikian maka kita
harus sudah siap dengan teknologi penanggulangan penyakit ikan yang meliputi
tehnik diagnosa cepat, teknik pencegahan penyakit dan teknik pengobatannya. Demikian juga untuk
menjaga semakin meluasnya penyebaran penyakit ikan maka peran Karantina Ikan
akan sangat berarti.
Beberapa
usaha untuk menanggulangi penyakit ikan telah banyak dilakukan. Berbagai macam
bahan kimia dan antibiotika telah banyak dipakai dalam pengobatan penyakit
ikan. Pemakaian vaksin dan immunostimulan telah mulai digunakan untuk mencegah
timbulnya penyakit pada ikan. Penggunaan bakteri probiotik telah pula digunakan
dalam usaha penanggulangan penyakit pada ikan.
Usaha
pencegahan terhadap timbunya penyakit ikan juga telah dilakukan dengan jalan
memperbaikai kualitas air baik dengan jalan pengguanaan filter biologi maupun
dengan menggunakan proses bio-remediasi.
Dalam
makalah ini akan dibahas hal-hal yang berkaitan dengan manajemen kesehatan ikan
meliputi cara diagnosa, pencegahan penyakit dan pengobatan terhadap penyakit
ikan.
1.2. Tujuan dan Manfaat
Tujuan
dari makalah ini adalah dapat mengetahui bagaimana cara mendiagnosa penyakit
pada ikan, pencegahan penyakit pada ikan serta pengobatan terhadap penyakit
ikan. Sedangkan manfaatnya adalah dapat menerapkan ilmu manajemen kesehatan
ikan ini dalam usaha budidaya.
II.
PEMBAHASAN
Manajemen
kesehatan akuakultur adalah suatu cara untuk mengelola biota perairan agar
biota tersebut dapat tumbuh dan berkembang biak dengan baik. Salah satu caranya
yaitu dengan manajemen kesehatan. Manajemen kesehatan dapat dilakukan dengan tindakan
pencegahan dan pengobatan. Kesehatan yang baik merupakan pencegahan terhadap
penyakit yang ideal. Oleh sebab itu, pencegahan lebih baik daripada pengobatan
dan hal tersebut dapat dilakukan dengan manajemen kesehatan (Ghufran, 2004).
Ikan dalam kehidupannya tidak dapat
dipisahkan dari lingkungan, yang dalam hal ini air. Didalam lingkungan itu
sendiri baik air maupun lingkungan perkolaman banyak terdapat berbagai jenis
patogen. Dalam keadaan normal/seimbang walau dalam lingkungan tersebut banyak
terdapat patogen, maka patogen tidak akan dapat menyebabkan ikan menjadi sakit. Apabila keseimbangan
pada salah satu factor tersebut terganggu oleh sesuatu sebab maka akan terjadi
perubahan keseimbangan. Hal tersebut akan dapat memacu timbulnya penyakit ikan. Jadi
dalam hal ini penting sekali untuk dapat menjaga keseimbangan antara faktor
ikan sebagai inang, lingkungan dan jasad penyebab penyakit.
Stress adalah merupakan salah satu
faktor penting dalam kesehatan ikan. Faktor-faktor yang menyebabkan efek
negatif bagi ikan seperti penanganan yang kasar, kepadatan yang terlalu tinggi
dan lingkungan yang tidak mendukung merupakan stressor yang sangat berpengaruh
pada kesehatan ikan. Respon terhadap stressor yang paling mendasar adalah daya
untuk menghindar dari suatu ancaman. Respon yang lainnya seperti bertambahnya
produksi hormon adrenalin yang merupakan produk dari respon terhadap gangguan
yang mendadak. Hal ini akan mengganggu proses osmoregulasi. Hormon yang lain
adalah cortisol yang dapat mempengaruhi sel darah putih dan mengurangi
efektifitas dari sistem kekebalan (Andrews et al. 1988). Dalam keadaan demikian
ikan akan mudah terserang oleh penyakit (Snieszko, 1973 ; Sarig, 1971).
Ikan
mungkin saja dapat menyesuaikan terhadap stressor terutama yang kronik, namun
demikian proses tersebut berjalan sangat lambat. Efek dari perubahan masih
dapat terlihat pada proses reproduksi dan imunitas terhadap penyakit yaitu
tidak sama tingkatannya apabila dibandingkan dengan sebelum terekspose oleh
stressor. Proses adaptasi itu sendiri akan memakan waktu sekitar 4 sampai 6
minggu (Andrews et al., 1988).
Pemberian
pakan yang tepat mutu dan tepat jumlah akan membantu dalam mencegah timbulnya
penyakit ikan. Demikian juga waktu pemberian pakan harus disesuaikan dengan
jenis ikan yang kita perlukan. Pemberian pakan yang kurang tepat baik jumlah
maupun mutu dapat menyebabkan penyakit pada ikan yang sering disebut dengan
istilah “penyakit nutrisional”. Kebanyakan akibat penyakit nutrisional ini
bersifat kronik dan biasanya perubahan yang terjadi berlangsung sangat lambat
dalam jangka waktu yang lama (Post, 1983).
Diagnosa
untuk penyakit tersebut memerlukan pengamatan yang sangat intensif baik
terhadap gejala luar maupun dalam. Pengamatan terhadap kimia darah dan cairan
tubuh lainnya, pengamatan histologi serta histokimia akan sangat membantu dalam
mendiagnosa penyakit nutrisional. Jenis-jenis
penyakit bisa berupa kekurangan protein/asam amino, kekurangan asam lemak
essensial kekurangan vitamin dan kekurangan mineral.
Kelainan-kelainan
yang terdapat pada ikan akibat penyimpangan genetik Pertumbuhan yang lamban
serta variatif akibat terjadinya perkawinan yang inbreed. Kelainan dari yang
sering dapat diamati adalah antara lain yaitu adanya kelainan pada tutup insang
hilangnya salah satu sirip, letak hati yang abnormal, bentuk sirip yang
abnormal dan lain-lain.
2.1. Penyakit Infeksi
Penyakit
ini disebabkan oleh jasad penyebab penyakit. Jasad penyebab penyakit itu
sendiri dapat berupa jasad parasistik, jamur, bakteri dan virus.
2.1.1. Parasistik
Jasad
parasistik dapat berupa protozoa Crustacea dan Helminth. Kalau dilihat sifat
dan letak infeksinya maka dapat digolongkan pada ekto dan endo parasit. Parasit
dari golongan protozoa, sporozoa yang sangat terkenal antara lain Myxobalus sp,
Myxosoma sp. Sedangkan dari kelas Ciliata adalah Ichthyophthirius multifiliis,
Trichodium sp, Epistylis sp dan Trichophrya sp.
Parasit cacing yang terkenal adalah dari golongan monogenic trematods antara lain Dactylogyrus sp, Gyrodactylus sp, Benedenia sp dan Neo-Benedenia sp. Sedangkan parasit dari golongan Crustacea yang terkenal adalah Lernaea sp, dan Branchiura yang patogen adalah Argulus sp.
Parasit cacing yang terkenal adalah dari golongan monogenic trematods antara lain Dactylogyrus sp, Gyrodactylus sp, Benedenia sp dan Neo-Benedenia sp. Sedangkan parasit dari golongan Crustacea yang terkenal adalah Lernaea sp, dan Branchiura yang patogen adalah Argulus sp.
2.2.2 Jamur
Penyakit
akibat infeksi jamur disebut dengan Mycosis. Jamur yang biasa menginfeksi ikan
antara lain Saprolegnia sp, Achlya sp, serta jamur yang tergolong dalam
Aphanomyces. Indikasi infeksi jamur sangat mudah di kenal karena menunjukan
gejala seperti serabut kapas.
Jenis jamur yang bersifat sistemik adalah Ichthyophonus sp. jamur tersebut dapat tumbuh pada saluran darah terutama pada insang dan bagian induk ikan.
Jenis jamur yang bersifat sistemik adalah Ichthyophonus sp. jamur tersebut dapat tumbuh pada saluran darah terutama pada insang dan bagian induk ikan.
2.2.3. Bakteri
Beberapa
bakteridapat menginfeksi ikan baik ikan air tawar maupun ikan laut. Kebanyakan
bakteri yang menginfeksi ikan tergolong dalam bakteri gram negatif walau
beberapa bakteri gram positif juga ada yang dapat menginfeksi ikan. Bakteri
tersebut antara lain: Aeromonas hydrophila bakteri ini pada umumnya menginfeksi
ikan-ikan air tawar. Di Indonesia penyakit akibat infeksi bakteri tersebut
dikenal dengan penyakit bercak merah. Bakteri Flexibacter columnaris biasanya
menyebabkan penyakit rontok sirip (fin rot) dan rontaok insang (gill rot).
Bakteri dari genus Vibrio (V. alginolyticus, V. parahaemolyticus, V. harveyi,
V. anguilarum, V. ichthyoenteri dll) pada umumnya menginfeksi ikan-ikan air
laut dan payau. Bakteri gram positif yang sering menginfeksi ikan antara lain
adalah: Mycobacterium spp. (merupakan bakteri penyebab tuberculosis pada ikan)
dan Streptococcus inae yang dapat menginfeksi baik ikan air tawar maupun ikan
air laut.
2.2.4. Virus
2.2.4. Virus
Beberapa
virus telah terkenal banyak menginfeksi ikan dan udang. Viral nervous necrosis
(VNN) dan iridovirus telah banyak merugikan terutama pada budidaya ikan kerapu.
Infectious Pancreatic Necrosis (IPN) telah merugikan budidaya ikan salmon.
Sedangkan SMBV dan SEMBV telah menjadi masalah bagi budidaya udang windu.
2.2. Diagnosa Penyakit
Kegiatan
ini bertujuan untuk mengenali adanya ketidaknormalan pada ikan-ikan serta
mengidentifikasi agen penyebabnya. Oleh karena itu, pengetahuan dan kemampuan
untuk membedakan antara kondisi ikan yang sehat dengan yang sakit, mutlak harus
dimiliki oleh petugas kesehatan ikan. Kegiatan pemantauan yang dilakukan secara
periodic terhadap kondisi kesehatan ikan termasuk tingkah laku dan kondisi
fisik ikan sangat diperlukan. Pengamatan dilapangan meliputi ada tidaknya ikan
yang mati, ada tidaknya ikan yang memisahkan diri dari kelompok, ada tidaknya
ketidak normalan pada tubuh ikan, merupakan bahan yang penting bagi diagnosa
penyakit.
Untuk
dapat memastikan penyakit dengan tepat dan cepat diperlukan suatu alat/metode
diagnosa yang tepat dan cepat. Ketepatan mendiagnosa suatu penyakit akan
menghasilkan suatu cara penanggulangan yang tepat. Oleh karena itu sudah
saatnya kita untuk menggunakan metode diagnosa cepat (Rapid diagnostic
methode). Immunodiagnotic sekarang sudah banyak dikembangkan di mulai dari
Direct agglutination test, fluorescens antibody test (FAT),
Immuno-histochemistry sampai ke penggunaan PCR
2.3. Penanggulangan Penyakit dan Pencegahan Penyakit
Penanggulangan
penyakit ikan dapat dibagi menjadi tindakan pencegahan (prevention) dan
tindakan pengobatan (therapy). Pada dasarnya pencegahan terhadap
penyakit ditujukan kepada hal-hal yang dapat menyebabkan tekanan (stress) pada
ikan. Tindakan tersebut dapat berupa penerapan manajemen budidaya yang
sempurna, penanganan ikan yang tidak kasar, penerapan manajemen pakan serta
manajemen qualitas air yang baik. Pemilihan jenis ikan yang tahan terhadap
penyakit merupakan salah satu pencegahan yang cukup efektif. Tindakan
pencegahan lain yang sekarang banyak diterapkan adalah dengan cara menstimulasi
kekebalan tubuh. Kekebalan tersebut bisa spesifik maupun yang non specifik
(cellular). Kekebalan specifik dapat di stimulasi dengan memberikan vaksin,
sedangkan kekebalan non spesifik dapat dipacu dengan memberikan imunostimulan.
Penelitian tentang vaksin di Indonesia telah dimulai tahun 1983 dan telah
menunjukan hasil yang menyakinkan (Supriyadi dan Taupik, 1983 ; Supriyadi,
1998). Adapun metode pemberian baik vaksin maupun immostimulan dapat dilakukan
dengan beberapa cara yaitu :
a.
Cara perendaman (immersion)
b.
Melalui pakan (oral)
c.
Melalui suntikan (injektion)
Dari
ketiga cara tersebut yang paling efektif adalah dengan cara injeksi namun dari
segi praktis dan efesiensi cara perendaman yang paling tepat. Kelemahan
pemberian vaksin dengan melalui pakan adalah bahwa kecepatan makan tiap-tiap
ikan tidak akan sama. Selain itu beberapa enzim pencernaan akan merusakkan
antigen.
Tahapan
pemberian vaksin dapat berupa vaksin awal (priming) dan vaksinasi ulang
(Booster). Keutamaan pemakaian vaksin adalah bahwa kekebalan dapat
dipertahankan selama masa pemeliharaan ikan. Masalah yang dihadapi dalam
kekebalan ikan adalan bahwa immunoglobulin (Ig) yang terdapat pada ikan pada
umumnya tidak mempunyai IgG yang sangat berperan dalam pembentukan antibody.
Immunoglobulin yang ada pada ikan hanya yang menyerupai IgM (IgM like) sehingga
pembentukan antibody pada ikan tidak seoptimal pembentukan antibody binatang
kelas tinggi (Post, 1983)
2.4. Pengobatan (Therapy)
Obat
(Therapeutic agent) dalam arti luas adalah bahan atau cara yang dapat memacu
mengurangi sakit, mengembalikan kesehatan atau yang dapat memperpanjang
umur/kehidupan ikan.
Beberapa
bahan kimia dan antibiotika telah lama dipakai dalam pengobatan penyakit ikan
(Meyer, 1964; Taupik dan Supriyadi, 1986; Supriyadi dan Rukyani, 1990)). Namun
penggunaan obat itu sendiri selain tidak dapat memecahkan masalah dengan tuntas
juga secara ekonomi sangat mahal. Selain itu penggunaan obat yang terus menerus
terutama antibiotika, akan memepercepat terbentuknya organisme yang tahan
terhadap antibiotika itu sendiri. Pada dasarnya cara pengobatan pada ikan dapat
dibedakan menjadi beberapa cara yaitu:
•
Perendaman
•
Oral
•
Infeksi
•
Oles
Cara
perendaman bisa dibedakan menjadi perendaman jangka waktu singkat dan jangka
waktu lama. Perendaman dengan waktu singkat biasanya konsentrasinya lebih
tinggi apabila dibandingkan dengan perendaman jangka waktu lama. Pemberian obat
melalui pakan biasanya dilakukan dengan mencampur obat pada pakan, diberikan
tiap hari selama periode waktu tertentu. Pemberian obat melalui injeksi dapat
dibedakan menjadi intraperitoneal (melaui rongga perut) dan intramuscular
(melalui otot daging).
2.5. Contoh Pengelolaan Kesehatan
Ikan dan Lingkungan Ikan Lele
Kegiatan budidaya
lele dumbo sering dihadapkan pada permasalahan timbulnya penyakit atau
kematian ikan. Pada kegiatan pembesaran, penyakit banyak ditimbulkan akibat
buruknya penanganan kondisi lingkungan.
Penyakit didefinisikan sebagai suatu
keadaan fisik, morfologi, dan atau fungsi yang mengalami perubahan dari kondisi
normal karena beberapa penyebab baik dari dalam (internal) maupun dari luar
(eksternal).
Beberapa upaya
yang harus dilakukan dalam rangka pengendalian penyakit secara keseluruhan
antara lain :
1.
Persiapan lahan/wadah budidaya yang baik : pengeringan, pengapuran, pembalikan
tanah dasar, dan lainnya.
2. Desinfeksi semua wadah dan peralatan sebelum dan
selama proses produksi.
3. Menjaga kualitas air pemeliharaan tetap pada
kondisi yang optimal untuk kehidupan ikan yang dibudidayakan.
4. Melakukan
penebaran dengan padat tebar yang sesuai untuk mengurangi terjadinya kontak
antar ikan secara langsung dan untuk menghindari kanibalisme.
5. Seleksi
induk/benih dengan cara penggunaan benih yang sehat (melalui screaning PCR) dan
atau telah tersertifikasi.
6. Pemberian imunostimulan dan vitamin C untuk menjaga
stamina dan meningkatkan ketahanan tubuh ikan secara rutin selama pemeliharaan.
7. Vaksinasi terhadap induk/benih untuk meningkatkan
kekebalan ikan.
Pengobatan atau
penyembuhan merupakan tindakan yang perlu dilakukan apabila alternative
penyembuhan lainnya sudah tidak memberikan hasil yang signifikan. Beberapa hal
yang perlu diperhatikan dalam hal pengobatan adalah :
1. Dosis dan waktu
pengobatan harus tepat (sesuai dengan petunjuk yang tertera dalam label).
2. Pengobatan
dapat dilakukan secara langsung pada ikan sakit atau melalui pakan dengan
menggunakan obat yang sudah terdaftar.
2.6. Jurnal Diagnosis Penyakit Bakterial
Pada Ikan Kerapu Macan (Epinephelus Fuscoguttatus) Pada
Keramba Jaring Apung Boneatiro di Kabupaten Buton
Ø
Pendahuluan
Kerapu macan (Epinephelus
fuscoguttatus) termasuk kelompok ikan kerapu yang berharga tinggi. Jenis
kerapu ini merupakan ikan asli Indonesia yang hidup tersebar di berbagai
perairan berkarang di Nusantara. Keberhasilan penanggulangan penyakit sangat
ditentukan oleh ketepatan diagnosis maupun pengetahuan tentang agen
penyebabnya. Penanggulangan penyakit bakterial lebih banyak dilakukan melalui
aplikasi antibiotik atau bahan kimia sehingga berdampak pada resistensi bakteri
dan pencemaran lingkungan. Penelitian ini bertujuan melakukan karakterisasi dan
identifikasi bakteri patogen, serta menguji patogenisitasnya terhadap kerapu
macan (Epinephelus fuscoguttatus), sehingga menjadi diagnosis yang tepat
mengenai penyebab penyakit pada kerapu yang pada akhirnya berguna dalam upaya
penanggulangannya.
Ø Bahan dan
Metode
Penelitian ini dilaksanakan Uji yang
meliputi : bagian isolasi, pemurniandan uji karakterisasi, uji Postulat Koch,
uji patogenisitas bakteri dan Uji Histopatologi. Penelitian ini berlangsung
selama 2 (dua) bulan, pada bulan Juli hingga Agustus 2010. Alat-alat yang
digunakan antara lain : inkubator, petridisk,tabung reaksi, autoclave, kertas
saring, vortex, Sentrifuge, jarum ose, jarum tusuk, erlenmeyer, beker glass, gelas
ukur, lampu Bunsen, timbangan elektrik, hot stirer plate , analytic balance, gelas
obyek, mikroskop, thermometer, pH meter , DO meter, aluminium foil, ember
plastic, spet (volume 1 ml), selang, aerator, bak penampung air (fiberglass ),
mikropipet 100 μl dan 1000 μl, eppendorf.
Sedangkan bahan yang digunakan adalah benih ikan kerapu macan (E.
fuscoguttatus) Ukuran 9 - 10 cm untuk uji Postulat Koch dan uji
patogenisitas, media penumbuhan dan pemurnian bakteri, media untuk uji sifat fisiologis,
biokimia, Reagen dan bahan pendukung uji sifat fisiologis, bahan biokimia, klorin,
dan pakan ikan (pellet).
1. Pelaksanaan
Penelitian
Penelitian dilakukan dengan melakukan
pengambilan sampel ikan kerapu macan yang mengalami gejala penyakit bakterial
di Keramba Jaring Apung dan metode eksperimental untuk mengetahui patogenisitas
penyakit bakterial terhadap kerapu macan. Penghitungan kepadatan bakteri pada Postulat
Koch dan uji patogenisitas didasarkan pada metode penghitungan bakteri
secara tidak langsung berdasarkan jumlah koloni sesuai Jutono et al.
(1973). Pengambilan sampel dilakukan secara selektif terhadap ikan yang
menunjukkan gejala serangan penyakit bakterial sesuai Zafran et al. (1998);
Schaperclaus (1991); Austin and Austin (2007). Pengambilan sampel dilakukan
berdasarkan adanya gejala bakterial berupa pendarahan dibawa kulit (haemorhagik),
luka seperti borok pada kulit, luka kemerahan pada mulut, erosi kulit,
pengikisan pada sirip dan ekor (gripish), dan mata menonjol (Exoptalmiah)
pada lokasi budidaya, yaitu Karamba Jaring Apung (KJA) Boneatiro. Isolasi
bakteri dilakukan secara aseptis, dan mengacu pada Ligthner (1996). Pengamatan
morfologi koloni dilakukan terhadap bakteri pada medium TSA 2% dan TCBS.
Morfologi koloni yang diamati meliputi warna, bentuk, tepi, dan elevasi. Differensiasi
Family dan Genus , selanjutnya dilakukan uji Postulat Koch
dengan mengkultur bakteri murni pada medium TSB trisalt kemudian
diinkubasi. setelah dihitung kepadatannya, bakteri diinjeksikan pada ikan uji
dengan dosis 106 CFU/ikan secara intraperitoneal dengan tiga ulangan.
Ikan kontrol diinjeksi menggunakan larutan trisalt dengan dosis 0,25 ml/ikan. Ikan
dipelihara dalam ember dengan perlakuan aerasi, penyiphonan, dan pemberian
pakan menggunakan pellet. Reisolasi bakteri pada ikan yang mati dilakukan
secara aseptis dari organ ginjal dan hati dengan Medium TCBS dan medium TSA 2%,
dan selanjutnya pengujian Differensiasi Species pada Genus.
2. Identifikasi
bakteri
Karakter bakteri berdasarkan pengamatan
morfologi koloni, pengujian sifat fisiologis maupun sifat biokimia disusun
dalam bentuk tabel, kemudian dicocokkan dengan karakter bakteri yang terdapat
dalam Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology (Holt et al. 1994),
A Hand Book of Shrimps Pathology and Diagnosis Procedure for Penaeid
Shrimp (Lightner 1996), Bacteria From Fish and Other Aquatic
Animals: A Practical Identification Manual (Buller, 2004) dan Bacterial
Fish Pathogens: Disease in Farmed and Wild Fish (Austin and Austin
2007).
3. Uji
Patogenisitas Bakteri
Patogenisitas ditentukan berdasarkan
nilai LD50 menggunakan metode Dragstedt Behrens (Hubert 1980). Bakteri
dikultur pada medium TSB trisalt kemudian diinkubasi. Setelah dilakukan penghitungan
kepadatan, maka bakteri disediakan dalam tingkatan konsentrasi 5x102 CFU/ml,
5x104 CFU/ml, 5x106 CFU/ml, dan 5x108 CFU/ml. Ikan uji yang digunakan
untuk tiap perlakuan berjumlah tujuh ekor dengan tiga ulangan.
Penyuntikan bakteri dilakukan secara intraperitoneal dengan tingkatan
perlakuan dosis penyuntikan 102, 104, 106, dan 108 CFU/ikan, masing-masing
sebanyak 0,2 ml. Ikan uji dipelihara dalam ember dengan perlakuan aerasi
dan penyiphonan
4. Kematian
ikan
Rerata waktu kematian (Mean Time to
Death, MTD) ikan pada uji Postulat Koch maupun uji patogenisitas
diperhitungkan (Hubert 1980). Penghitungan Lethal Dosage 50 (LD50)
bakteri pada uji patogenisitas dilakukan berdasarkan metode Dragstedt
Behrens (Hubert 1980)
5. Kualitas
air
Kualitas air pada uji patogenisitas
bakteri diamati setiap lima hari pada pagi dan siang hari untuk melihat
fluktuasinya. Beberapa parameter kualitas air yang diamati adalah salinitas,
kandungan oksigen terlarut atau Dissolved Oxygen (DO), suhu, dan pH.
Ø Hasil Dan
Pembahasan
Sampel ikan Kerapu Macan (Epinephelus
fuscogutatus) yang diambil berukuran dewasa 25 – 45 cm. Sampel menunjukkan
gejala berupa pendarahan dibawah kulit (haemoragik), luka seperti borok
pada bagian tubuh, luka kemerahan pada mulut, pengikisan pada sirip dan ekor (gripish),
mata yang menonjol (exoptalmiah), hati yang pucat dan ginjal yang
membengkak.
Karakteristik
dan Identifikasi
Hasil karakteristik pada tahap awal
menunjukkan bahwa isolat merupakan anggota genus Vibrio sp dan Micrococcus
sp. Hasil pengujian Postulat Koch menunjukkan bahwa beberapa isolat
bakteri menyebabkan gejala penyakit pada ikan uji.
Patogenisitas bakteri Vibrio alginolyticus pada ikan kerapu macan
Pengamatan patogenisitas dilakukan
terhadap bakteri Vibrio alginolyticus (Kode A). Pada postulat koch
Vibrio alginolyticus merupakan bakteri yang paling cepat menyebabkan
kematian ikan uji sehingga perlu dilakukan uji patogenisitas. Hasil uji
patogenisitas menunjukkan bahwa setelah 14 hari pengamatan, ikan yang diinfeksi
bakteri dengan dosis 108, 106, 104, dan 102 CPU/ikan mengalami kematian
berturut-turut 90%, 76%, 48%, dan 28%. Kerapu macan yang diinfeksi Vibrio
alginolyticus mengalami gejala penyakit yang bervariasi. Infeksi dengan
dosis 108 CFU/ikan menunjukkan rerata waktu kematian lebih cepat yaitu 35 jam
(rata-rata ulangan). Selanjutnya dosis 104 dan 106 CFU/ikan menunjukkan rerata
waktu kematian rata-rata 82 jam dan 50 jam. Dosis 108, 106 dan 104 CPU/ikan
menyebabkan gejala penyakit sub akut berupa haemoragik pada daerah operculum,
pangkal (sirip dada, sirip perut, sirip dubur), dan pada beberapa ikan uji
terdapat haemoragik yang merata pada kepala, operculum dan bagian perut
akibat infeksi bakteri Vibrio dapat dilihat pada (Gambar 2). Sementara
dosis penyuntikan yang lebih rendah 102 CFU/ikan menyebabkan gejala penyakit kronis
yang diawali haemoragik pada pangkal sirip, berlanjut munculnya nekrosis
jaringan kulit, baik pada daerah perut maupun daerah pangkal perut, pangkal
dada
dan pangkal dubur dengan rerata waktu
kematian rata-rata 109 jam. Hal tersebut berbeda dengan
kelompok ikan kontrol yang tetap pada
kondisi sehat tanpa adanya gejala penyakit dan kematian sampai pada jam
pengamatan 42 (14 hari setelah infeksi). Tingkat patogenisitas Vibrio
alginolyticus (Kode A), ditentukan berdasarkan nilai LD50 menggunakan
metode Dragstedt Behrens.
Dari hasil perhitungan LD50 infeksi
bakteri Vibrio alginolyticus bersifat ganas terhadap ikan kerapu macan (Epinephelus
fuscoguttatus), dimana kematian ikan uji sebesar 50% (LD50) terjadi pada dosis
infeksi 1,47 x 104 CFU/ikan, atau kisaran antara dosis 7,11 x103 - 3,05 x 104
CFU/ikan atau (1,880 ± 1,169 ) x 104 CFU/ikan selama rerata waktu kematian 50 -
82 jam (rata-rata ulangan). Hal ini lebih rendah dosis LD50 sebelumnya,
sehingga harus segera dilakukan upaya penanggulangan. Mudjani (2002) melaporkan
bahwa infeksi Vibrio alginolyticus pada ikan kerapu tikus (ukuran 4-5 cm)
menyebabkan kematian pada ikan uji dengan nilai LD50 sebesar 4,5 x 106 CFU/ikan
melalui penyuntikan intramuscular (IM), intraperitoneal (IP), dan intravenal
(IV). Sementara itu Rajan et al, (2001) juga melaporkan bahwa infeksi Vibrio
alginolyticus pada jevenil ikan Cobia (Rachycentron canadum)
menyebabkan kematian ikan uji dengan LD50 sebesar 4,4 – 6 x 106 CFU/ikan
melalui penyuntikan IM dan IP. Sementara Kamiso (1996) menyebutkan bahwa Vibrio
anguillarum yang diisolasi dari Chum salmon (Oncorhynchus keta)
mempunyai LD50 antara 9,0 x 104 – 3,6 x 105 sel/ml, dan menunjukkan tingkat
keganasan lebih rendah pada English Sole (Parophrys vetulus) yaitu LD50 berkisar
9,0 x 106 – 2,0 x 107 sel/ml. Terjadinya penyakit sangat berkaitan dengan
faktor-faktor patogenisitas bakteri, kecepatan perkembangbiakan patogen, maupun
faktor pertahanan inang dalam melawan patogen. Aktifitas haemolysis maupun
leukosidin yang dihasilkan oleh Extracellular produk (ECPs) bakteri menjadikan
faktor pertahanan bakteri untuk melawan pertahanan darah inang karena mampu
melisis sel darah. Bakteri yang mampu bertahan tersebut akan masuk kedalam
aliran darah sehingga menyebar ke seluruh sel tubuh inang maupun menuju organ
target. Bakteri juga memilki faktor patogenisitas berupa enzim-enzim yang
terdapat pada ECPs, diantaranya caseinase, gelatinase, amylase, phospolipase,
lipase, chitinase, kolagenase, hyaluronidase, elastase, maupun proteinase yang mampu
menguraikan senyawa-senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana sehingga bakteri
dengan mudah menerobos sel inang (Sudheesh and Xu 2001). Menurut Yushimitsu et
al. (1986) parameter ekologi yang sesuai untuk kerapu (Epinephelus sp)
adalah temperatur 24 – 31oC, Salinitas 30 -33 ppt, kandungan oksigen terlarut
lebih dari 3,5 ppm, dan pH 7,8 – 8. Al-Qodri et al. (1999) menyebutkan
bahwa kualitas air yang cocok untuk ikan kerapu tikus adalah suhu 28 – 32oC,
salinitas 30 – 32 ppt, pH 7-8, serta DO >5 ppm. Pada penelitian ini,
kualitas air masih berada pada kisaran yang sesuai untuk ikan Kerapu Macan (Epiinephelus
fuscoguttatus). Kesesuaian juga didasarkan pada kondisi ikan kontrol yang tetap
sehat.
Ø Kesimpulan
1. Bakteri patogen yang menyebab penyakit
pada ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) di Keramba Jaring
Apung Boneatiro Di Kabupaten Buton diidentifikasikan sebagai bakteri Vibrio
alginolyticus, Vibrio anguillarum, Vibrio (carchariae) harveyii, Vibrio
ordalii dan Micrococcus luteus.
2. Vibrio alginolyticus (kode A)
menyebabkan patogen pada ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)
dengan nilai LD50 terjadi pada dosis infeksi 1,47 x 104 CFU/ikan, atau kisaran
antara dosis 7,11 x 103 - 3,05 x 104 CFU/ikan atau (1,880 ± 1,169 ) x 104
CFU/ikan selama rerata waktu kematian 50 - 82 jam (rata-rata ulangan).
III.
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Manajemen
kesehatan pada ikan penting dilakukan dalam penciptaan kondisi yang sehat baik bagi ikan maupun, manusia dan
lingkungan. Dalam penetapan manajemen yang akan diterapkan harus dengan kajian
lebih dalam agar hasil yang diharapkan dapat tercapai. Ikan sehat akan memiliki
kualitas yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Andrews, C., A. Exell and N.
Carrington. 1988. The Intervet Manual of Fish Health. Salamander
Books Ltd. London.
Ghufran. 2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan. Rineka
Cipta : Yogyakarta.
Jurnal Diagnosis Penyakit Bakterial Pada Ikan Kerapu
Macan (Epinephelus Fuscoguttatus) Pada Keramba Jaring Apung Boneatiro Di
Kabupaten Buton Oleh Herfiani, Alexander Rantetondok Dan Hilal Anshary
Meyer, F.P. 1964. Field treatment of
Aeromonas liquefaciens infections in golden shiners. Prog. Fish-Cult. 26(1):
33-35.
Post, G. 1983. Textbook of Fish
Health.TFH Publication, Inc. Ltd.
Sarig, S. 1971. Diseases of Warmwater
Fishes. TFH Publ., Neptune City, New Jersey.
Snieszko, S.F. 1973. The effect of
environmental stress on outbreak of infection diseases of fishes. J. Fish.
Biol. (6) : 197 208.
Supriyadi, H. dan P. Taufik. 1983. Penelitian pendahuluan immunisasi ikan dengan cara vaksinasi. Bull. Pen. PD .4 (1): 34 36.
Supriyadi, H. dan P. Taufik. 1983. Penelitian pendahuluan immunisasi ikan dengan cara vaksinasi. Bull. Pen. PD .4 (1): 34 36.
Supriyadi, H. 1986. The susceptibility
of various fish species to infection by the bacterium Aeromonas hydrophila. p.
241-242. In J.L. Maclean, L.B.Dizon and L.V. Hosillos (eds) The First Asian
Fisheries Forum . Asian Fisheries Society. Manila. Philippines.
Supriyadi, H and A. Rukyani. 1990. The
use of antibiotics and drugs for treatment of bacterial disease on fish and
shrimp in Indonesia. In. Disease in Asian Aquaculture I. M. Shariff, R.P.
Subashinghe and J.R. Arthur (eds), p. 515-517. Fish Health Section, Asian
Fisheries Society, Manila, Philippines.
Supriyadi, H and M. Shariff. 1995.
Evaluation of the immune response and protection confered in walking catfish,
Clarias batrachus, administered inactivated Aeromonas hydrophila bacterin by
immersion. In Diseases in Asian Aquaculture II. M. Shariff, J.R. Arthur and
Subasinghe (eds) p. 405-412. Fish Health Section, Asian Fisheries Society,
Manila. Philippines.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Laatar Belakang Kualitas air adalah istilah yang menggambarkan kesesuaian atau kecocokan air untuk pengg...
-
RUPA DARAH SECARA MAKROKOPIS DAN MIKROSKOPIS SEBELUM DAN SESUDAH HAEMOLISIS SERTA MENENTUKAN TEKANAN OSMOTIK SEL-SEL DARAH MERAH PADA IKA...
-
LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN AIR MENGHITUNG SEL DARAH MERAH (ERITROSIT) DAN PUTIH (LEUKOSIT) OLEH : DIAN FITRIA M ...
-
LAPORAN PRAKTIKUM LAPANGAN BIOLOGI LAUT JENIS- JENIS ORGANISME FLORA DAN FAUNA YANG HIDUP DI DAERAH INTERTIDAL PANTAI CEROCOK SUMATERA...
No comments:
Post a Comment