Saturday, 8 June 2013

pencegahan penyakit pada ikan serta pengobatan terhadap penyakit ikan


<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-layout-grid-align: none; text-align: center; text-autospace: none; text-indent: 0cm;"> MAKALAH
MANAJEMEN KESEHATAN IKAN




OLEH

DIAN FITRIA M
1004114392






JURUSAN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2013

I. PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakag
Perkembangan budidaya ikan dari sistem tradisional, ekstensif menjadi sistem intensif dirasakan sangat pesat. Namun perkembangan tersebut telah banyak menimbulkan masalah. Salah satu masalah yang dirasa sangat serius adalah masalah penyakit ikan.
Penyakit ikan biasanya timbul karena adanya interaksi antara tiga factor yaitu lingkungan, inang dan adanya jasad penyebab penyakit. Apabila ketiga factor tersebut berada dalam keseimbangan maka tidak akan terjadi masalah penyakit. Tetapi apabila terjadi perubahan pada salah satu faktor maka akan terjadi ketidak seimbangan. Hal ini akan dapat menimbulkan masah penyakit ikan.
Dengan semakin luasnya sebaran areal budidaya ikan, dan semakin majunya perdagangan serta lalu-lintas ikan hidup, maka penyebaran penyakit ikan akan semakin cepat. Demikian juga dengan semakin intensif sistem budidaya ikan maka akan semakin banyak masalah penyakit ikan yang timbul. Dalam keadaan demikian maka kita harus sudah siap dengan teknologi penanggulangan penyakit ikan yang meliputi tehnik diagnosa cepat, teknik pencegahan penyakit dan teknik pengobatannya. Demikian juga untuk menjaga semakin meluasnya penyebaran penyakit ikan maka peran Karantina Ikan akan sangat berarti.
Beberapa usaha untuk menanggulangi penyakit ikan telah banyak dilakukan. Berbagai macam bahan kimia dan antibiotika telah banyak dipakai dalam pengobatan penyakit ikan. Pemakaian vaksin dan immunostimulan telah mulai digunakan untuk mencegah timbulnya penyakit pada ikan. Penggunaan bakteri probiotik telah pula digunakan dalam usaha penanggulangan penyakit pada ikan.
Usaha pencegahan terhadap timbunya penyakit ikan juga telah dilakukan dengan jalan memperbaikai kualitas air baik dengan jalan pengguanaan filter biologi maupun dengan menggunakan proses bio-remediasi.
Dalam makalah ini akan dibahas hal-hal yang berkaitan dengan manajemen kesehatan ikan meliputi cara diagnosa, pencegahan penyakit dan pengobatan terhadap penyakit ikan.

1.2. Tujuan dan Manfaat
            Tujuan dari makalah ini adalah dapat mengetahui bagaimana cara mendiagnosa penyakit pada ikan, pencegahan penyakit pada ikan serta pengobatan terhadap penyakit ikan. Sedangkan manfaatnya adalah dapat menerapkan ilmu manajemen kesehatan ikan ini dalam usaha budidaya.











II. PEMBAHASAN

Manajemen kesehatan akuakultur adalah suatu cara untuk mengelola biota perairan agar biota tersebut dapat tumbuh dan berkembang biak dengan baik. Salah satu caranya yaitu dengan manajemen kesehatan. Manajemen kesehatan dapat dilakukan dengan tindakan pencegahan dan pengobatan. Kesehatan yang baik merupakan pencegahan terhadap penyakit yang ideal. Oleh sebab itu, pencegahan lebih baik daripada pengobatan dan hal tersebut dapat dilakukan dengan manajemen kesehatan (Ghufran, 2004).
Ikan dalam kehidupannya tidak dapat dipisahkan dari lingkungan, yang dalam hal ini air. Didalam lingkungan itu sendiri baik air maupun lingkungan perkolaman banyak terdapat berbagai jenis patogen. Dalam keadaan normal/seimbang walau dalam lingkungan tersebut banyak terdapat patogen, maka patogen tidak akan dapat menyebabkan ikan menjadi sakit. Apabila keseimbangan pada salah satu factor tersebut terganggu oleh sesuatu sebab maka akan terjadi perubahan keseimbangan. Hal tersebut akan dapat memacu timbulnya penyakit ikan. Jadi dalam hal ini penting sekali untuk dapat menjaga keseimbangan antara faktor ikan sebagai inang, lingkungan dan jasad penyebab penyakit.
Stress adalah merupakan salah satu faktor penting dalam kesehatan ikan. Faktor-faktor yang menyebabkan efek negatif bagi ikan seperti penanganan yang kasar, kepadatan yang terlalu tinggi dan lingkungan yang tidak mendukung merupakan stressor yang sangat berpengaruh pada kesehatan ikan. Respon terhadap stressor yang paling mendasar adalah daya untuk menghindar dari suatu ancaman. Respon yang lainnya seperti bertambahnya produksi hormon adrenalin yang merupakan produk dari respon terhadap gangguan yang mendadak. Hal ini akan mengganggu proses osmoregulasi. Hormon yang lain adalah cortisol yang dapat mempengaruhi sel darah putih dan mengurangi efektifitas dari sistem kekebalan (Andrews et al. 1988). Dalam keadaan demikian ikan akan mudah terserang oleh penyakit (Snieszko, 1973 ; Sarig, 1971).
Ikan mungkin saja dapat menyesuaikan terhadap stressor terutama yang kronik, namun demikian proses tersebut berjalan sangat lambat. Efek dari perubahan masih dapat terlihat pada proses reproduksi dan imunitas terhadap penyakit yaitu tidak sama tingkatannya apabila dibandingkan dengan sebelum terekspose oleh stressor. Proses adaptasi itu sendiri akan memakan waktu sekitar 4 sampai 6 minggu (Andrews et al., 1988).
Pemberian pakan yang tepat mutu dan tepat jumlah akan membantu dalam mencegah timbulnya penyakit ikan. Demikian juga waktu pemberian pakan harus disesuaikan dengan jenis ikan yang kita perlukan. Pemberian pakan yang kurang tepat baik jumlah maupun mutu dapat menyebabkan penyakit pada ikan yang sering disebut dengan istilah “penyakit nutrisional”. Kebanyakan akibat penyakit nutrisional ini bersifat kronik dan biasanya perubahan yang terjadi berlangsung sangat lambat dalam jangka waktu yang lama (Post, 1983).
Diagnosa untuk penyakit tersebut memerlukan pengamatan yang sangat intensif baik terhadap gejala luar maupun dalam. Pengamatan terhadap kimia darah dan cairan tubuh lainnya, pengamatan histologi serta histokimia akan sangat membantu dalam mendiagnosa penyakit nutrisional. Jenis-jenis penyakit bisa berupa kekurangan protein/asam amino, kekurangan asam lemak essensial kekurangan vitamin dan kekurangan mineral.
Kelainan-kelainan yang terdapat pada ikan akibat penyimpangan genetik Pertumbuhan yang lamban serta variatif akibat terjadinya perkawinan yang inbreed. Kelainan dari yang sering dapat diamati adalah antara lain yaitu adanya kelainan pada tutup insang hilangnya salah satu sirip, letak hati yang abnormal, bentuk sirip yang abnormal dan lain-lain.

2.1. Penyakit Infeksi
Penyakit ini disebabkan oleh jasad penyebab penyakit. Jasad penyebab penyakit itu sendiri dapat berupa jasad parasistik, jamur, bakteri dan virus.
2.1.1. Parasistik
Jasad parasistik dapat berupa protozoa Crustacea dan Helminth. Kalau dilihat sifat dan letak infeksinya maka dapat digolongkan pada ekto dan endo parasit. Parasit dari golongan protozoa, sporozoa yang sangat terkenal antara lain Myxobalus sp, Myxosoma sp. Sedangkan dari kelas Ciliata adalah Ichthyophthirius multifiliis, Trichodium sp, Epistylis sp dan Trichophrya sp.
Parasit cacing yang terkenal adalah dari golongan monogenic trematods antara lain Dactylogyrus sp, Gyrodactylus sp, Benedenia sp dan Neo-Benedenia sp. Sedangkan parasit dari golongan Crustacea yang terkenal adalah Lernaea sp, dan Branchiura yang patogen adalah Argulus sp.
2.2.2 Jamur
Penyakit akibat infeksi jamur disebut dengan Mycosis. Jamur yang biasa menginfeksi ikan antara lain Saprolegnia sp, Achlya sp, serta jamur yang tergolong dalam Aphanomyces. Indikasi infeksi jamur sangat mudah di kenal karena menunjukan gejala seperti serabut kapas.
Jenis jamur yang bersifat sistemik adalah Ichthyophonus sp. jamur tersebut dapat tumbuh pada saluran darah terutama pada insang dan bagian induk ikan.
2.2.3. Bakteri
Beberapa bakteridapat menginfeksi ikan baik ikan air tawar maupun ikan laut. Kebanyakan bakteri yang menginfeksi ikan tergolong dalam bakteri gram negatif walau beberapa bakteri gram positif juga ada yang dapat menginfeksi ikan. Bakteri tersebut antara lain: Aeromonas hydrophila bakteri ini pada umumnya menginfeksi ikan-ikan air tawar. Di Indonesia penyakit akibat infeksi bakteri tersebut dikenal dengan penyakit bercak merah. Bakteri Flexibacter columnaris biasanya menyebabkan penyakit rontok sirip (fin rot) dan rontaok insang (gill rot). Bakteri dari genus Vibrio (V. alginolyticus, V. parahaemolyticus, V. harveyi, V. anguilarum, V. ichthyoenteri dll) pada umumnya menginfeksi ikan-ikan air laut dan payau. Bakteri gram positif yang sering menginfeksi ikan antara lain adalah: Mycobacterium spp. (merupakan bakteri penyebab tuberculosis pada ikan) dan Streptococcus inae yang dapat menginfeksi baik ikan air tawar maupun ikan air laut.
2.2.4. Virus
Beberapa virus telah terkenal banyak menginfeksi ikan dan udang. Viral nervous necrosis (VNN) dan iridovirus telah banyak merugikan terutama pada budidaya ikan kerapu. Infectious Pancreatic Necrosis (IPN) telah merugikan budidaya ikan salmon. Sedangkan SMBV dan SEMBV telah menjadi masalah bagi budidaya udang windu.


2.2. Diagnosa Penyakit
Kegiatan ini bertujuan untuk mengenali adanya ketidaknormalan pada ikan-ikan serta mengidentifikasi agen penyebabnya. Oleh karena itu, pengetahuan dan kemampuan untuk membedakan antara kondisi ikan yang sehat dengan yang sakit, mutlak harus dimiliki oleh petugas kesehatan ikan. Kegiatan pemantauan yang dilakukan secara periodic terhadap kondisi kesehatan ikan termasuk tingkah laku dan kondisi fisik ikan sangat diperlukan. Pengamatan dilapangan meliputi ada tidaknya ikan yang mati, ada tidaknya ikan yang memisahkan diri dari kelompok, ada tidaknya ketidak normalan pada tubuh ikan, merupakan bahan yang penting bagi diagnosa penyakit.
Untuk dapat memastikan penyakit dengan tepat dan cepat diperlukan suatu alat/metode diagnosa yang tepat dan cepat. Ketepatan mendiagnosa suatu penyakit akan menghasilkan suatu cara penanggulangan yang tepat. Oleh karena itu sudah saatnya kita untuk menggunakan metode diagnosa cepat (Rapid diagnostic methode). Immunodiagnotic sekarang sudah banyak dikembangkan di mulai dari Direct agglutination test, fluorescens antibody test (FAT), Immuno-histochemistry sampai ke penggunaan PCR

2.3. Penanggulangan Penyakit  dan Pencegahan Penyakit
Penanggulangan penyakit ikan dapat dibagi menjadi tindakan pencegahan (prevention) dan tindakan pengobatan (therapy). Pada dasarnya pencegahan terhadap penyakit ditujukan kepada hal-hal yang dapat menyebabkan tekanan (stress) pada ikan. Tindakan tersebut dapat berupa penerapan manajemen budidaya yang sempurna, penanganan ikan yang tidak kasar, penerapan manajemen pakan serta manajemen qualitas air yang baik. Pemilihan jenis ikan yang tahan terhadap penyakit merupakan salah satu pencegahan yang cukup efektif. Tindakan pencegahan lain yang sekarang banyak diterapkan adalah dengan cara menstimulasi kekebalan tubuh. Kekebalan tersebut bisa spesifik maupun yang non specifik (cellular). Kekebalan specifik dapat di stimulasi dengan memberikan vaksin, sedangkan kekebalan non spesifik dapat dipacu dengan memberikan imunostimulan. Penelitian tentang vaksin di Indonesia telah dimulai tahun 1983 dan telah menunjukan hasil yang menyakinkan (Supriyadi dan Taupik, 1983 ; Supriyadi, 1998). Adapun metode pemberian baik vaksin maupun immostimulan dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu :
a. Cara perendaman (immersion)
b. Melalui pakan (oral)
c. Melalui suntikan (injektion)
Dari ketiga cara tersebut yang paling efektif adalah dengan cara injeksi namun dari segi praktis dan efesiensi cara perendaman yang paling tepat. Kelemahan pemberian vaksin dengan melalui pakan adalah bahwa kecepatan makan tiap-tiap ikan tidak akan sama. Selain itu beberapa enzim pencernaan akan merusakkan antigen.
Tahapan pemberian vaksin dapat berupa vaksin awal (priming) dan vaksinasi ulang (Booster). Keutamaan pemakaian vaksin adalah bahwa kekebalan dapat dipertahankan selama masa pemeliharaan ikan. Masalah yang dihadapi dalam kekebalan ikan adalan bahwa immunoglobulin (Ig) yang terdapat pada ikan pada umumnya tidak mempunyai IgG yang sangat berperan dalam pembentukan antibody. Immunoglobulin yang ada pada ikan hanya yang menyerupai IgM (IgM like) sehingga pembentukan antibody pada ikan tidak seoptimal pembentukan antibody binatang kelas tinggi (Post, 1983)

2.4. Pengobatan (Therapy)
Obat (Therapeutic agent) dalam arti luas adalah bahan atau cara yang dapat memacu mengurangi sakit, mengembalikan kesehatan atau yang dapat memperpanjang umur/kehidupan ikan.
Beberapa bahan kimia dan antibiotika telah lama dipakai dalam pengobatan penyakit ikan (Meyer, 1964; Taupik dan Supriyadi, 1986; Supriyadi dan Rukyani, 1990)). Namun penggunaan obat itu sendiri selain tidak dapat memecahkan masalah dengan tuntas juga secara ekonomi sangat mahal. Selain itu penggunaan obat yang terus menerus terutama antibiotika, akan memepercepat terbentuknya organisme yang tahan terhadap antibiotika itu sendiri. Pada dasarnya cara pengobatan pada ikan dapat dibedakan menjadi beberapa cara yaitu:
• Perendaman
• Oral
• Infeksi
• Oles
Cara perendaman bisa dibedakan menjadi perendaman jangka waktu singkat dan jangka waktu lama. Perendaman dengan waktu singkat biasanya konsentrasinya lebih tinggi apabila dibandingkan dengan perendaman jangka waktu lama. Pemberian obat melalui pakan biasanya dilakukan dengan mencampur obat pada pakan, diberikan tiap hari selama periode waktu tertentu. Pemberian obat melalui injeksi dapat dibedakan menjadi intraperitoneal (melaui rongga perut) dan intramuscular (melalui otot daging).
2.5. Contoh Pengelolaan Kesehatan Ikan dan Lingkungan Ikan Lele
Kegiatan budidaya lele dumbo sering dihadapkan pada permasalahan timbulnya penyakit atau kematian ikan. Pada kegiatan pembesaran, penyakit banyak ditimbulkan akibat buruknya penanganan kondisi lingkungan.
Penyakit didefinisikan sebagai suatu keadaan fisik, morfologi, dan atau fungsi yang mengalami perubahan dari kondisi normal karena beberapa penyebab baik dari dalam (internal) maupun dari luar (eksternal).
Beberapa upaya yang harus dilakukan dalam rangka pengendalian penyakit secara keseluruhan antara lain :
1.    Persiapan lahan/wadah budidaya yang baik : pengeringan, pengapuran, pembalikan tanah dasar, dan lainnya.
2.    Desinfeksi semua wadah dan peralatan sebelum dan selama proses produksi.
3.    Menjaga kualitas air pemeliharaan tetap pada kondisi yang optimal untuk kehidupan ikan yang dibudidayakan.
4.    Melakukan penebaran dengan padat tebar yang sesuai untuk mengurangi terjadinya kontak antar ikan secara langsung dan untuk menghindari kanibalisme.
5.    Seleksi induk/benih dengan cara penggunaan benih yang sehat (melalui screaning PCR) dan atau telah tersertifikasi.
6.    Pemberian imunostimulan dan vitamin C untuk menjaga stamina dan meningkatkan ketahanan tubuh ikan secara rutin selama pemeliharaan.
7.    Vaksinasi terhadap induk/benih untuk meningkatkan kekebalan ikan.
Pengobatan atau penyembuhan merupakan tindakan yang perlu dilakukan apabila alternative penyembuhan lainnya sudah tidak memberikan hasil yang signifikan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam hal pengobatan adalah :
1.    Dosis dan waktu pengobatan harus tepat (sesuai dengan petunjuk yang tertera dalam label).
2.    Pengobatan dapat dilakukan secara langsung pada ikan sakit atau melalui pakan dengan menggunakan obat yang sudah terdaftar.

2.6. Jurnal Diagnosis Penyakit Bakterial Pada Ikan Kerapu Macan (Epinephelus Fuscoguttatus) Pada Keramba Jaring Apung Boneatiro di Kabupaten Buton

Ø  Pendahuluan
Kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) termasuk kelompok ikan kerapu yang berharga tinggi. Jenis kerapu ini merupakan ikan asli Indonesia yang hidup tersebar di berbagai perairan berkarang di Nusantara. Keberhasilan penanggulangan penyakit sangat ditentukan oleh ketepatan diagnosis maupun pengetahuan tentang agen penyebabnya. Penanggulangan penyakit bakterial lebih banyak dilakukan melalui aplikasi antibiotik atau bahan kimia sehingga berdampak pada resistensi bakteri dan pencemaran lingkungan. Penelitian ini bertujuan melakukan karakterisasi dan identifikasi bakteri patogen, serta menguji patogenisitasnya terhadap kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), sehingga menjadi diagnosis yang tepat mengenai penyebab penyakit pada kerapu yang pada akhirnya berguna dalam upaya penanggulangannya.
Ø  Bahan dan Metode
Penelitian ini dilaksanakan Uji yang meliputi : bagian isolasi, pemurniandan uji karakterisasi, uji Postulat Koch, uji patogenisitas bakteri dan Uji Histopatologi. Penelitian ini berlangsung selama 2 (dua) bulan, pada bulan Juli hingga Agustus 2010. Alat-alat yang digunakan antara lain : inkubator, petridisk,tabung reaksi, autoclave, kertas saring, vortex, Sentrifuge, jarum ose, jarum tusuk, erlenmeyer, beker glass, gelas ukur, lampu Bunsen, timbangan elektrik, hot stirer plate , analytic balance, gelas obyek, mikroskop, thermometer, pH meter , DO meter, aluminium foil, ember plastic, spet (volume 1 ml), selang, aerator, bak penampung air (fiberglass ), mikropipet 100 μl  dan 1000 μl, eppendorf. Sedangkan bahan yang digunakan adalah benih ikan kerapu macan (E. fuscoguttatus) Ukuran 9 - 10 cm untuk uji Postulat Koch dan uji patogenisitas, media penumbuhan dan pemurnian bakteri, media untuk uji sifat fisiologis, biokimia, Reagen dan bahan pendukung uji sifat fisiologis, bahan biokimia, klorin, dan pakan ikan (pellet).
1. Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilakukan dengan melakukan pengambilan sampel ikan kerapu macan yang mengalami gejala penyakit bakterial di Keramba Jaring Apung dan metode eksperimental untuk mengetahui patogenisitas penyakit bakterial terhadap kerapu macan. Penghitungan kepadatan bakteri pada Postulat Koch dan uji patogenisitas didasarkan pada metode penghitungan bakteri secara tidak langsung berdasarkan jumlah koloni sesuai Jutono et al. (1973). Pengambilan sampel dilakukan secara selektif terhadap ikan yang menunjukkan gejala serangan penyakit bakterial sesuai Zafran et al. (1998); Schaperclaus (1991); Austin and Austin (2007). Pengambilan sampel dilakukan berdasarkan adanya gejala bakterial berupa pendarahan dibawa kulit (haemorhagik), luka seperti borok pada kulit, luka kemerahan pada mulut, erosi kulit, pengikisan pada sirip dan ekor (gripish), dan mata menonjol (Exoptalmiah) pada lokasi budidaya, yaitu Karamba Jaring Apung (KJA) Boneatiro. Isolasi bakteri dilakukan secara aseptis, dan mengacu pada Ligthner (1996). Pengamatan morfologi koloni dilakukan terhadap bakteri pada medium TSA 2% dan TCBS. Morfologi koloni yang diamati meliputi warna, bentuk, tepi, dan elevasi. Differensiasi Family dan Genus , selanjutnya dilakukan uji Postulat Koch dengan mengkultur bakteri murni pada medium TSB trisalt kemudian diinkubasi. setelah dihitung kepadatannya, bakteri diinjeksikan pada ikan uji dengan dosis 106 CFU/ikan secara intraperitoneal dengan tiga ulangan. Ikan kontrol diinjeksi menggunakan larutan trisalt dengan dosis 0,25 ml/ikan. Ikan dipelihara dalam ember dengan perlakuan aerasi, penyiphonan, dan pemberian pakan menggunakan pellet. Reisolasi bakteri pada ikan yang mati dilakukan secara aseptis dari organ ginjal dan hati dengan Medium TCBS dan medium TSA 2%, dan selanjutnya pengujian Differensiasi Species pada Genus.
2. Identifikasi bakteri
Karakter bakteri berdasarkan pengamatan morfologi koloni, pengujian sifat fisiologis maupun sifat biokimia disusun dalam bentuk tabel, kemudian dicocokkan dengan karakter bakteri yang terdapat dalam Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology (Holt et al. 1994), A Hand Book of Shrimps Pathology and Diagnosis Procedure for Penaeid Shrimp (Lightner 1996), Bacteria From Fish and Other Aquatic Animals: A Practical Identification Manual (Buller, 2004) dan Bacterial Fish Pathogens: Disease in Farmed and Wild Fish (Austin and Austin 2007).
3. Uji Patogenisitas Bakteri
Patogenisitas ditentukan berdasarkan nilai LD50 menggunakan metode Dragstedt Behrens (Hubert 1980). Bakteri dikultur pada medium TSB trisalt kemudian diinkubasi. Setelah dilakukan penghitungan kepadatan, maka bakteri disediakan dalam tingkatan konsentrasi 5x102 CFU/ml, 5x104 CFU/ml, 5x106 CFU/ml, dan 5x108 CFU/ml. Ikan uji yang digunakan untuk tiap perlakuan berjumlah tujuh ekor dengan tiga ulangan. Penyuntikan bakteri dilakukan secara intraperitoneal dengan tingkatan perlakuan dosis penyuntikan 102, 104, 106, dan 108 CFU/ikan, masing-masing sebanyak 0,2 ml. Ikan uji dipelihara dalam ember dengan perlakuan aerasi dan penyiphonan
4. Kematian ikan
Rerata waktu kematian (Mean Time to Death, MTD) ikan pada uji Postulat Koch maupun uji patogenisitas diperhitungkan (Hubert 1980). Penghitungan Lethal Dosage 50 (LD50) bakteri pada uji patogenisitas dilakukan berdasarkan metode Dragstedt Behrens (Hubert 1980)
5. Kualitas air
Kualitas air pada uji patogenisitas bakteri diamati setiap lima hari pada pagi dan siang hari untuk melihat fluktuasinya. Beberapa parameter kualitas air yang diamati adalah salinitas, kandungan oksigen terlarut atau Dissolved Oxygen (DO), suhu, dan pH.
Ø  Hasil Dan Pembahasan
Sampel ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscogutatus) yang diambil berukuran dewasa 25 – 45 cm. Sampel menunjukkan gejala berupa pendarahan dibawah kulit (haemoragik), luka seperti borok pada bagian tubuh, luka kemerahan pada mulut, pengikisan pada sirip dan ekor (gripish), mata yang menonjol (exoptalmiah), hati yang pucat dan ginjal yang membengkak.
Karakteristik dan Identifikasi
Hasil karakteristik pada tahap awal menunjukkan bahwa isolat merupakan anggota genus Vibrio sp dan Micrococcus sp. Hasil pengujian Postulat Koch menunjukkan bahwa beberapa isolat bakteri menyebabkan gejala penyakit pada ikan uji.
Patogenisitas bakteri Vibrio alginolyticus pada ikan kerapu macan
Pengamatan patogenisitas dilakukan terhadap bakteri Vibrio alginolyticus (Kode A). Pada postulat koch Vibrio alginolyticus merupakan bakteri yang paling cepat menyebabkan kematian ikan uji sehingga perlu dilakukan uji patogenisitas. Hasil uji patogenisitas menunjukkan bahwa setelah 14 hari pengamatan, ikan yang diinfeksi bakteri dengan dosis 108, 106, 104, dan 102 CPU/ikan mengalami kematian berturut-turut 90%, 76%, 48%, dan 28%. Kerapu macan yang diinfeksi Vibrio alginolyticus mengalami gejala penyakit yang bervariasi. Infeksi dengan dosis 108 CFU/ikan menunjukkan rerata waktu kematian lebih cepat yaitu 35 jam (rata-rata ulangan). Selanjutnya dosis 104 dan 106 CFU/ikan menunjukkan rerata waktu kematian rata-rata 82 jam dan 50 jam. Dosis 108, 106 dan 104 CPU/ikan menyebabkan gejala penyakit sub akut berupa haemoragik pada daerah operculum, pangkal (sirip dada, sirip perut, sirip dubur), dan pada beberapa ikan uji terdapat haemoragik yang merata pada kepala, operculum dan bagian perut akibat infeksi bakteri Vibrio dapat dilihat pada (Gambar 2). Sementara dosis penyuntikan yang lebih rendah 102 CFU/ikan menyebabkan gejala penyakit kronis yang diawali haemoragik pada pangkal sirip, berlanjut munculnya nekrosis jaringan kulit, baik pada daerah perut maupun daerah pangkal perut, pangkal dada
dan pangkal dubur dengan rerata waktu kematian rata-rata 109 jam. Hal tersebut berbeda dengan
kelompok ikan kontrol yang tetap pada kondisi sehat tanpa adanya gejala penyakit dan kematian sampai pada jam pengamatan 42 (14 hari setelah infeksi). Tingkat patogenisitas Vibrio alginolyticus (Kode A), ditentukan berdasarkan nilai LD50 menggunakan metode Dragstedt Behrens.
Dari hasil perhitungan LD50 infeksi bakteri Vibrio alginolyticus bersifat ganas terhadap ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), dimana kematian ikan uji sebesar 50% (LD50) terjadi pada dosis infeksi 1,47 x 104 CFU/ikan, atau kisaran antara dosis 7,11 x103 - 3,05 x 104 CFU/ikan atau (1,880 ± 1,169 ) x 104 CFU/ikan selama rerata waktu kematian 50 - 82 jam (rata-rata ulangan). Hal ini lebih rendah dosis LD50 sebelumnya, sehingga harus segera dilakukan upaya penanggulangan. Mudjani (2002) melaporkan bahwa infeksi Vibrio alginolyticus pada ikan kerapu tikus (ukuran 4-5 cm) menyebabkan kematian pada ikan uji dengan nilai LD50 sebesar 4,5 x 106 CFU/ikan melalui penyuntikan intramuscular (IM), intraperitoneal (IP), dan intravenal (IV). Sementara itu Rajan et al, (2001) juga melaporkan bahwa infeksi Vibrio alginolyticus pada jevenil ikan Cobia (Rachycentron canadum) menyebabkan kematian ikan uji dengan LD50 sebesar 4,4 – 6 x 106 CFU/ikan melalui penyuntikan IM dan IP. Sementara Kamiso (1996) menyebutkan bahwa Vibrio anguillarum yang diisolasi dari Chum salmon (Oncorhynchus keta) mempunyai LD50 antara 9,0 x 104 – 3,6 x 105 sel/ml, dan menunjukkan tingkat keganasan lebih rendah pada English Sole (Parophrys vetulus) yaitu LD50 berkisar 9,0 x 106 – 2,0 x 107 sel/ml. Terjadinya penyakit sangat berkaitan dengan faktor-faktor patogenisitas bakteri, kecepatan perkembangbiakan patogen, maupun faktor pertahanan inang dalam melawan patogen. Aktifitas haemolysis maupun leukosidin yang dihasilkan oleh Extracellular produk (ECPs) bakteri menjadikan faktor pertahanan bakteri untuk melawan pertahanan darah inang karena mampu melisis sel darah. Bakteri yang mampu bertahan tersebut akan masuk kedalam aliran darah sehingga menyebar ke seluruh sel tubuh inang maupun menuju organ target. Bakteri juga memilki faktor patogenisitas berupa enzim-enzim yang terdapat pada ECPs, diantaranya caseinase, gelatinase, amylase, phospolipase, lipase, chitinase, kolagenase, hyaluronidase, elastase, maupun proteinase yang mampu menguraikan senyawa-senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana sehingga bakteri dengan mudah menerobos sel inang (Sudheesh and Xu 2001). Menurut Yushimitsu et al. (1986) parameter ekologi yang sesuai untuk kerapu (Epinephelus sp) adalah temperatur 24 – 31oC, Salinitas 30 -33 ppt, kandungan oksigen terlarut lebih dari 3,5 ppm, dan pH 7,8 – 8. Al-Qodri et al. (1999) menyebutkan bahwa kualitas air yang cocok untuk ikan kerapu tikus adalah suhu 28 – 32oC, salinitas 30 – 32 ppt, pH 7-8, serta DO >5 ppm. Pada penelitian ini, kualitas air masih berada pada kisaran yang sesuai untuk ikan Kerapu Macan (Epiinephelus fuscoguttatus). Kesesuaian juga didasarkan pada kondisi ikan kontrol yang tetap sehat.
Ø  Kesimpulan
1. Bakteri patogen yang menyebab penyakit pada ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) di Keramba Jaring Apung Boneatiro Di Kabupaten Buton diidentifikasikan sebagai bakteri Vibrio alginolyticus, Vibrio anguillarum, Vibrio (carchariae) harveyii, Vibrio ordalii dan Micrococcus luteus.
2. Vibrio alginolyticus (kode A) menyebabkan patogen pada ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) dengan nilai LD50 terjadi pada dosis infeksi 1,47 x 104 CFU/ikan, atau kisaran antara dosis 7,11 x 103 - 3,05 x 104 CFU/ikan atau (1,880 ± 1,169 ) x 104 CFU/ikan selama rerata waktu kematian 50 - 82 jam (rata-rata ulangan).
III. PENUTUP

3.1. Kesimpulan
            Manajemen kesehatan pada ikan penting dilakukan dalam penciptaan kondisi yang sehat baik bagi ikan maupun, manusia dan lingkungan. Dalam penetapan manajemen yang akan diterapkan harus dengan kajian lebih dalam agar hasil yang diharapkan dapat tercapai. Ikan sehat akan memiliki kualitas yang tinggi.

















DAFTAR PUSTAKA


Andrews, C., A. Exell and N. Carrington. 1988. The Intervet Manual of Fish Health. Salamander Books Ltd. London.

Ghufran. 2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan. Rineka Cipta : Yogyakarta.

Jurnal Diagnosis Penyakit Bakterial Pada Ikan Kerapu Macan (Epinephelus Fuscoguttatus) Pada Keramba Jaring Apung Boneatiro Di Kabupaten Buton Oleh Herfiani, Alexander Rantetondok Dan Hilal Anshary

Meyer, F.P. 1964. Field treatment of Aeromonas liquefaciens infections in golden shiners. Prog. Fish-Cult. 26(1): 33-35.

Post, G. 1983. Textbook of Fish Health.TFH Publication, Inc. Ltd.

Sarig, S. 1971. Diseases of Warmwater Fishes. TFH Publ., Neptune City, New Jersey.

Snieszko, S.F. 1973. The effect of environmental stress on outbreak of infection diseases of fishes. J. Fish. Biol. (6) : 197 208.
Supriyadi, H. dan P. Taufik. 1983. Penelitian pendahuluan immunisasi ikan dengan cara vaksinasi. Bull. Pen. PD .4 (1): 34 36.

Supriyadi, H. 1986. The susceptibility of various fish species to infection by the bacterium Aeromonas hydrophila. p. 241-242. In J.L. Maclean, L.B.Dizon and L.V. Hosillos (eds) The First Asian Fisheries Forum . Asian Fisheries Society. Manila. Philippines.

Supriyadi, H and A. Rukyani. 1990. The use of antibiotics and drugs for treatment of bacterial disease on fish and shrimp in Indonesia. In. Disease in Asian Aquaculture I. M. Shariff, R.P. Subashinghe and J.R. Arthur (eds), p. 515-517. Fish Health Section, Asian Fisheries Society, Manila, Philippines.

Supriyadi, H and M. Shariff. 1995. Evaluation of the immune response and protection confered in walking catfish, Clarias batrachus, administered inactivated Aeromonas hydrophila bacterin by immersion. In Diseases in Asian Aquaculture II. M. Shariff, J.R. Arthur and Subasinghe (eds) p. 405-412. Fish Health Section, Asian Fisheries Society, Manila. Philippines.

No comments:

Post a Comment

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Laatar Belakang Kualitas air adalah istilah yang menggambarkan kesesuaian atau kecocokan air untuk pengg...