Thursday, 20 November 2014

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mikroba

a. Suhu

1. Suhu pertumbuhan mikroba

Pertumbuhan mikrobia memerlukan kisaran suhu tertentu. Kisaran suhu pertumbuhan dibagi menjadi suhu minimum, suhu optimum, dan suhu maksimum. Suhu minimum adalah suhu terendah tetapi mikrobia masih dapat hidup. Suhu optimum adalah suhu paling baik untuk pertumbuhan mikrobia. Suhu maksimum adalah suhu tertinggi untuk kehidupan mikrobia.

Berdasarkan kisaran suhu pertumbuhannya, mikrobia dapat dikelompokkan menjadi mikrobia psikrofil (kriofil), mesofil, dan termofil. Psikrofil adalah kelompok mikrobia yang dapat tumbuh pada suhu 0-30 oC dengan suhu optimum sekitar 15 oC  Mesofil adalah kelompok mikrobia pada umumnya, mempunyai suhu minimum 15 0C suhu optimum 25-37 oC dan suhu maksimum 45-55 oC  Mikrobia yang tahan hidup pada suhu tinggi dikelompokkan dalam mikrobia termofil. Mikrobia ini mempunyai membran sel yang mengandung lipida jenuh, sehingga titik didihnya tinggi. Selain itu dapat memproduksi protein termasuk enzim yang tidak terdenaturasi pada suhu tinggi. Di dalam DNA-nya mengandung guanin dan sitosin dalam jumlah yang relatif besar, sehingga molekul DNA tetap stabil pada suhu tinggi.

Kelompok ini mempunyai suhu minimum 40 oC  optimum pada suhu 55-60 oC dan suhu maksimum untuk pertumbuhannya 75 oC  Untuk mikrobia yang tidak tumbuh dibawah suhu 30 oC dan mempunyai suhu pertumbuhan optimum pada 60 oC  dikelompokkan kedalam mikrobia termofil obligat. Untuk mikrobia termofil yang dapat tumbuh dibawah suhu 30 oC  dimasukkan kelompok mikrobia termofil fakultatif. Bakteri yang hidup di dalam tanah dan air, umumnya bersifat mesofil, tetapi ada juga yang dapat hidup diatas 50 oC (termotoleran). Contoh bakteri termotoleran adalah Methylococcus capsulatus. Contoh bakteri termofil adalah Bacillus, Clostridium, Sulfolobus, dan bakteri pereduksi sulfat/sulfur. Bakteri yang hidup di laut (fototrof) dan bakteri besi (Gallionella) termasuk bakteri psikrofil.

Apabila mikroba dihadapkan pada suhu tinggi diatas suhu maksimum, akan memberikan beberapa macam reaksi.
  1. Titik kematian thermal, adalah suhu yang dapat memetikan spesies mikrobia dalam waktu 10 menit pada kondisi tertentu. 
  2. Waktu kematian thermal, adalah waktu yang diperlukan untuk membunuh suatu spesies mikrobia pada suatu suhu yang tetap. Faktor-faktor yang mempengaruhi titik kematian thermal ialah waktu, suhu, kelembaban, spora, umur mikrobia, pH dan komposisi medium.
2. Suhu rendah

Apabila mikrobia dihadapkan pada suhu rendah dapat menyebabkan gangguan metabolisme. Skibat-akibatnya adalah :
  1. Cold shock, adalah penurunan suhu yang tiba-tiba menyebabkan kematian bakteri, terutama pada bakteri muda atau pada fase logaritmik, 
  2. Pembekuan (freezing), adalah rusaknya sel dengan adanya kristal es di dalam air intraseluler, 
  3. Lyofilisasi, adalah proses pendinginan dibawah titik beku dalam keadaan vakum secara bertingkat. Proses ini dapat digunakan untuk mengawetkan mikrobia karena air protoplasma langsung diuapkan tanpa melalui fase cair (sublimasi).
b. Kandungan air (pengeringan)

Setiap mikrobia memerlukan kandungan air bebas tertentu untuk hidupnya, biasanya diukur dengan parameter aw (water activity) atau kelembaban relatif. Mikrobia umumnya dapat tumbuh pada aw 0,998-0,6. bakteri umumnya memerlukan aw 0,90-0,999. Mikrobia yang osmotoleran dapat hidup pada aw terendah (0,6) misalnya khamir Saccharomyces rouxii.Aspergillus glaucus dan jamur benang lain dapat tumbuh pada aw 0,8. Bakteri umumnya memerlukan aw atau kelembaban tinggi lebih dari 0,98, tetapi bakteri halofil hanya memerlukan aw 0,75. Mikrobia yang tahan kekeringan adalah yang dapat membentuk spora, konidia atau dapat membentuk kista. 

c. Tekanan Osmosis

Tekanan osmosis sangat erat hubungannya dengan kandungan air. Apabila mikrobia diletakkan pada larutan hipertonis, maka selnya akan mengalami plasmolisis, yaitu terkelupasnya membran sitoplasma dari dinding sel akibat mengkerutnya sitoplasma. Apabila diletakkan pada larutan hipotonis, maka sel mikrobia akan mengalami plasmoptisa, yaitu pecahnya sel karena cairan masuk ke dalam sel, sel membengkak dan akhirnya pecah. Berdasarkan tekanan osmosis yang diperlukan mikrobia dapat dikelompokkan menjadi:
  1. Mikrobia Osmofil : tumbuh pada kadar gula tinggi, contoh beberapa jenis khamir, mampu tumbuh pada larutan gula dengan konsentrasi lebih dari 65 % wt/wt (aw = 0,94).
  2. Mikrobia Halodurik : tahan (tidak mati) tetapi tidak dapat tumbuh pada kadar garam tinggi (30 %).
  3. Mikrobia Halofil : dapat tumbuh pada kadar garam yang tinggi, contoh: bakteri yang termasuk Archaebacterium, misalnya Halobacterium.
d. Buffer

Buffer merupakan campuran garam monobasik dan dibasik, contoh adalah buffer fosfat anorganik dapat mempertahankan pH diatas 7,2. Cara kerja buffer adalah garam dibasik akan mengabsorbsi ion H+ dan garam monobasik akan bereaksi dengan ion OH-.

Untuk menumbuhkan mikrobia pada media, memerlukan pH yang konstan, terutama pada mikrobia yang dapat menghasilkan asam oleh karena itu buffer diperlukan untuk mempertahankan pH pada kisaran tertentu yang diperlukan untuk pertumbuhan mikroba.

e. Ion-ion lain

Logam berat seperti Hg, Ag, Cu, Au, dan Pb pada kadar rendah dapat bersifat meracuni (toksis) karena mempunyai daya oligodinamik, yaitu daya bunuh logam berat pada kadar rendah. Ion-ion lain seperti ion sulfat, tartrat, klorida, nitrat, dan benzoat dapat mengurangi pertumbuhan mikrobia tertentu dan sering digunakan dalam pengawetan makanan, senyawa lain misalnya asam benzoat, asam asetat, dan asam sorbat.

f. Listrik

Bila aliran listrik diberikan pada medium tumbuh mikroba akan menyebabkan:
  1. Terjadinya elektrolisis pada medium pertumbuhan.
  2. Menghasilkan panas yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroba, sel mikroba dalam suspensi akan mengalami elektroforesis.
  3. Menyebabkan terjadinya shock karena tekanan hidrolik listrik, kematian mikroba akibat shock terutama disebabkan oleh oksidasi.
  4. Adanya radikal ion dari ionisasi radiasi dan terbentuknya ion logam dari elektroda juga menyebabkan kematian mikroba.
g. Radiasi

Bila mikrobia menerima paparan radiasi tertentu:
  1. Menyebabkan ionisasi molekul-molekul di dalam protoplasma.
  2. Merusak mikrobia yang tidak mempunyai pigmen fotosintesis.
  3. Cahaya mempunyai pengaruh germisida.
  4. Sinar X (0,005-1,0 Å , sinar ultra violet (4000-2950 Å , dan sinar radiasi lainnya dapat membunuh mikroba.
  5. Apabila tingkat iradiasi yang diterima sel mikrobia rendah, maka dapat menyebabkan terjadinya mutasi pada mikroba.
h. Tegangan Muka
  1. Tegangan muka mempengaruhi cairan sehingga permukaan cairan tersebut menyerupai membran yang elastis.
  2. Perubahan tegangan muka dinding sel akan mempengaruhi pula permukaan protoplasma, akibatnya mempengaruhi pertumbuhan dan morfologi mikroba.
  3. Zat-zat seperti sabun, deterjen, dan zat-zat pembasah (surfaktan) dapat mengurangi tegangan muka cairan/larutan.
  4. Umumnya mikroba cocok pada tegangan muka yang relatif tinggi
i. Tekanan Hidrostatik
  1. Umumnya tekanan 1 – 400 atm tidak mempengaruhi atau hanya sedikit mempengaruhi metabolisme dan pertumbuhan mikroba, tekanan hidrostatik yang lebih tinggi akan menghambat atau menghentikan pertumbuhan, karena dapat menghambat sintesis RNA, DNA, dan protein, serta mengganggu fungsi transport membran sel maupun mengurangi aktivitas berbagai macam enzim.
  2. Tekanan diatas 100.000 pound/inchi2 menyebabkan denaturasi protein, tetapi ada mikrobia yang tahan hidup pada tekanan tinggi (mikrobia barotoleran), dan yang tumbuh optimal pada tekanan tinggi sampai 16.000 pound/inchi2 (mikroba barofilik), umumnya mikroba laut adalah barofilik atau barotoleran, contoh: bakteri Spirillum.
j. Getaran

Getaran mekanik dapat merusak dinding sel dan membran sel mikroba, dipakai untuk memperoleh ekstrak sel mikroba dengan cara menggerus sel-sel dengan menggunakan abrasif atau dengan cara pembekuan kemudian dicairkan berulang kali atau dengan getaran suara 100-10.000 kali/detik juga dapat digunakan untuk memecah sel mikroba.

sumber : http://perpustakaancyber.blogspot.com/2012/11/pertumbuhan-mikroba-kurva-laju-lag-eksponensial-stasioner-bakteri-pengaruh-kecepatan.html

Teknik mengukur pertumbuhan populasi mikroba

a. Berdasarkan jumlah sel

1. Metode langsung secara mikroskopis (Total count)

Ada beberapa cara perhitungan secara langsung, antara lain adalah dengan membuat preparat dari suatu bahan (preparat sederhana diwarnai atau tidak diwarnai) dan penggunaan ruang hitung (counting chamber). Enumerasi mikroba dapat dilakukan secara langsung yaitu dengan menghitung jumlahnya tanpa ditumbuhkan terlebih dahulu dalam suatu medium, dalam teknik ini semua sel mikroba baik yang hidup maupun yang mati akan terhitung. Untuk melakukan renumerasi mikroba dalam suatu bahan seringkali diperlukan pengenceran bertingkat.

a). Breed slide method

Pada metode ini tidak dibedakan sel yang hidup dan sel mati. Penghitungan dilakukan secara langsung pada setiap bidang pandang mikroskop. Sampel berupa cairan disebar (kira-kira 0,01 mL) pada microscope slide. Setelah dilakukan pewarnaan kemudian dilakukan penghitungan pada setiap bidang pandang mikroskop.

b). Petroff-Hauser chamber atau Haemositometer

Penghitungan secara langsung dapat dilakukan secara mikroskopis yaitu dengan menghitung jumlah bakteri dalam satuan isi yang sangat kecil. Alat yang digunakan adalah Petroff-Hauser Chamber atau Haemocytometer. Jumlah cairan yang terdapat antara coverglass dan alat ini mempunyai volume tertentu sehingga satuan isi yang terdapat dalam satu bujur sangkar juga tertentu. Dengan membuat preparat dari Suatu bahan (preparat sederhana diwarnai atau tidak diwarnai) dan penggunaan ruang hitung (counting chamber).

Ruang hitung terdiri dari 9 kotak besar dengan luas 1 mm². Satu kotak besar di tengah, dibagi menjadi 25 kotak sedang dengan panjang 0,2 mm. Satu kotak sedang dibagi lagi menjadi 16 kotak kecil. Dengan demikian satu kotak besar tersebut berisi 400 kotak kecil. Tebal dari ruang hitung ini adalah 0,1 mm. Sel nakteri yang tersuspensi akan memenuhi volume ruang hitung tersebut sehingga jumlah bakteri per satuan volume dapat diketahui.

2. Metode tidak langsung (viable count)

Perhitungan cara tidak langsung hanya untuk mengetahui jumlah mikroorganisme pada suatu bahan yang masih hidup saja (viable count). Metode perhitungan secara tidak langsung yang didasarkan pada anggapan bahwa setiap sel yang dapat hidup akan berkembang menjadi satu koloni yang merupakan suatu indeks bagi jumlah organisme yang dapat hidup yang terdapat pada sampel. Cara ini adalah cara yang paling umum digunakan untuk menentukan jumlah mikroba yang masih hidup, berdasarkan jumlah koloni yang tumbuh. Teknik ini diawali dengan pengenceran sampel secara seri, dengan kelipatan 1 : 10. Masing-masing suspensi pengenceran ditanam dengan metode tuang (pour plate) atau sebar (spread plate). Bakteri akan bereproduksi pada medium agar dan membentuk koloni setelah 18-24 jam inkubasi. Untuk menghitung jumlah koloni dalam cawan petri dapat digunakan alat ’colony counter’ yang biasanya dilengkapi dengan pencatat elektronik.

a). Spread plate method

Metode sebar (spread plate) merupakan metode penghitungan mikrobia pada medium padat. Dalam metode spread plate ini, volume kultur yang disebar tidak lebih dari 0,1 ml pada agar plate dan diratakan menggunakan alat yang disebut glass spreader. Kemudian plate diinkubasi sampai terlihat koloni sehingga jumlah koloni mikrobia dapat dihitung.  Walaupun mikrobia tertanam dalam agar plate, namun hasilnya sama dengan metode pour plate.

b). Pour plate method

Metode pour plate adalah metode agar cair yang digunakan untuk inokulasi dalam petri dish. Volume kultur yang biasa digunakan 0,1-1,0 ml. Kultur mikrobia dimasukkan ke dalam petri dish menggunakan pipet steril, kemudian medium agar yang telah dilelehkan (± 45 oC  dituangkan ke dalam petri dish yang telah berisi kultur mikrobia. Selanjutnya dilakukan pemutaran petri dish agar kultur mikrobia dan medium agar bercampur dengan rata. Koloni mikrobia akan tumbuh dan tertanam di dalam medium, baik di permukaan atas maupun di bawah. Sehingga metode pour plate ini cocok untuk menumbuhkan mikrobia anaerob.

c). MPN method

MPN adalah suatu metode enumerasi mikroorganisme yang menggunakan data dari hasil pertumbuhan mikroorganisme pada medium cair spesifik dalam seri tabung yang ditanam dari sampel padat atau cair yang ditanam berdasarkan jumlah sampel atau diencerkan menurut tingkat seri tabungnya sehingga dihasilkan kisaran jumlah mikroorganisme yang diuji dalam nilai MPN/satuan volume atau massa sampel.

Prinsip utama metode ini adalah mengencerkan sampel sampai tingkat tertentu sehingga didapatkan konsentrasi mikroorganisme yang pas/sesuai dan jika ditanam dalam tabung menghasilkaan frekuensi pertumbuhan tabung positif “kadang-kadang tetapi tidak selalu”. Semakin besar jumlah sampel yang dimasukkan (semakin rendah pengenceran yang dilakukan) maka semakin “sering” tabung positif yang muncul. Semakin kecil jumlah sampel yang dimasukkan (semakin tinggi pengenceran yang dilakukan) maka semakin “jarang” tabung positif yang muncul. Jumlah sampel/pengenceran yang baik adalah yang menghasilkan tabung positif “kadang-kadang tetapi tidak selalu”. Semua tabung positif yang dihasilkan sangat tergantung dengan probabilitas sel yang terambil oleh pipet saat memasukkannya ke dalam media. Oleh karena itu homogenisasi sangat mempengaruhi metode ini. Frekuensi positif (ya) atau negatif (tidak) ini menggambarkan konsentrasi mikroorganisme pada sampel sebelum diencerkan.

Asumsi yang diterapkan dalam metode MPN adalah :
  1. Bakteri terdistribusi sempurna dalam sampel
  2. Sel bakteri terpisah-pisah secara individual, tidak dalam bentuk rantai atau kumpulan (bakteri coliform termasuk E. coli terpisah sempurna tiap selnya dan tidak membentuk rantai).
  3. Media yang dipilih telah sesuai untuk pertumbuhan bakteri target dalam suhu dan waktu inkubasi tertentu sehingga minimal satu sel hidup mampu menghasilkan tabung positif selama masa inkubasi tersebut.
  4. Jumlah yang didapatkan menggambarkan bakteri yang hidup (viable) saja. Sel yang terluka dan tidak mampu menghasilkan tabung positif tidak akan terdeteksi.
  5. MPN dinilai dari perkiraan unit tumbuh (Growth Unit / GU) seperti CFU (Colony Forming Unit), bukan dari sel individu. Meskipun begitu baik nilai CFU atau MPN dapat menggambarkan seberapa banyak sel individu yang tersebar dalam sampel. Metode MPN dirancang dan lebih cocok untuk diterapkan pada sampel yang memiliki konsentrasi <100/g atau ml. Oleh karena itu nilai MPN dari sampel yang memiliki populasi mikroorganisme yang tinggi umumnya tidak begitu menggambarkan jumlah mikroorganisme yang sebenarnya. Jika jumlah kombinasi tabung positif tidak sesuai dengan tabel maka sampel harus diuji ulang. Semakin banyak seri tabung maka semakin tinggi akurasinya tetapi juga akan mempertinggi biaya analisa

sumber : http://perpustakaancyber.blogspot.com/2012/11/pertumbuhan-mikroba-kurva-laju-lag-eksponensial-stasioner-bakteri-pengaruh-kecepatan.html

Kinetika Pertumbuhan Mikroba dalam Batch Culture


Penumbuhan mikroba dalam sistem batch culture merupakan sistem kultur tertutup (menggunakan tabung reaksi atau flask) tanpa adanya penambahan medium baru ke dalam kultur. Mikrobia dalam sistem tertutup mengalami 4 fase pertumbuhan, secara berurutan meliputi fase lag, fase eksponensial, fase stasioner dan fase kematian. Pertumbuhan mikrobia dalam sistem tertutup menyebabkan fase eksponensial mikrobia sangat terbatas (Brock, 2012). 


a. Fase Lag

Fase lag merupakan waktu yang dibutuhkan mikrobia untuk tumbuh beradaptasi di dalam medium baru. Adaptasi mikrobia dilakukan untuk mensintesis enzim-enzim yang dibutuhkan untuk pertumbuhan lebih lanjut. Pada fase lag terjadi pertambahan massa dan volume sel mikrobia. Panjang atau pendeknya interval fase lag tergantung pada jenis inokulum mikrobia, medium yang sedikit nutrisi dan kondisi pertumbuhan mikrobia saat diinokulasikan.

Ada 3 alasan mikrobia kembali ke fase lag, yaitu:
  1. Inokulum hidup yang digunakan berasal dari kultur medium lama (saat mikrobia dalam fase stasioner) dipindahkan ke dalam komposisi medium baru yang sama. Keadaan mikrobia kembali ke fase lag karena mikrobia sudah tidak memiliki metabolit penting untuk menunjang kehidupannya. Oleh karena itu, mikrobia membutuhkan rentang waktu untuk melakukan biosintesis kembali. Mikrobia yang diinokulasikan mengalami kerusakan sel (tidak mati) akibat perubahan suhu, radiasi atau bahan kimia toxic. Fase lag dibutuhkan mikrobia untuk memperbaiki kerusakan sel nya.
  2. Populasi mikrobia yang diinokulasikan berasal dari medium kaya nutrisi dipindahkan ke dalam medium yang sedikit nutrisinya. Mikrobia membutuhkan waktu untuk menghasilkan enzim baru yang digunakan untuk mensintesis metabolit essensial.
  3. Populasi mikrobia tidak akan mengalami fase lag jika inokulum yang digunakan berasal dari populasi mikrobia yang mengalami pertumbuhan fase eksponensial dan ditumbuhakan pada kondisi medium yang sama (Brock, 2012).
b. Fase Eksponensial

Pada fase eksponensial, populasi mikrobia mengalami pembelahan paling tinggi dan konstan dalam waktu generasi yang pendek. Waktu generasi mikrobia merupakan waktu yang dibutuhkan sel mikrobia untuk membelah menjadi 2 sel. Setiap sel mikrobia akan membelah 2x lipat sehingga peningkatan jumlah populasi selalu 2n, n adalah jumlah generasi. Pertambahan jumlah sel dalam populasi disebut sebagai pertumbuhan mikrobia.

c. Fase Stasioner

Mikrobia mengalami pertumbuhan yang terbatas dan konstan selama fase stasioner. Pada fase stasioner, pembelahan sel yang terjadi sangat lambat. Jumlah pembelahan sel dengan sel yang mati seimbang, sehingga jumlah sel relatif konstan (pertumbuhan 0). Pertambahan jumlah sel yang sebanding dengan kematian sel disebut dengan fenomena pertumbuhan kriptik.

Pada fase ini, sel mikroba tetap aktif melakukan metabolisme energi dan proses biosintesis lainnya. Metabolit sekunder banyak dihasilkan mikrobia pada fase ini. Fase stasioner terjadi karena beberapa alasan yaitu:
  1. Terbatasnya nutrisi essensial dalam kultur yang mulai berkurang,
  2. Bagi organisme aerobik, ketersediaan O2 dalam medium mulai berkurang,
  3. Banyaknya sisa metabolisme yang tertimbun dalam medium kultur sehingga pertumbuhan mikroba terhambat (Brock, 2012 dan  Prescott, 1999).
4. Fase Kematian

Fase kematian terjadi jika terjadi perubahan lingkungan menjadi tidak menguntungkan, seperti berkurangnya nutrisi essensial dalam medium dan meningkatnya akumulasi zat toksik dalam medium. Grafik fase kematian seperti grafik fase eksponensial yaitu logaritmik (kematian sel tiap jam adalah konstan). Sel mikrobia yang mati akan mengalami lisis (Prescott, 1999).

Kenapa pada perhitungan dengan menggunakan colony counter hanya jumlah 30-300 koloni saja yang dapat dihitung ?

Kenapa pada perhitungan dengan menggunakan colony counter hanya jumlah 30-300 koloni saja yang dapat dihitung ?

Jawaban :

Karena jumlah tersebut merupakan sampel yang representative. Kurang fari 30 koloni dianggap tidak representative ( terlalu sedikit organisme ), lebih dari 300 koloni juga sama dinggap tidak representative karena koloni yang terlalu padat akan menghasilkan pertumbuhan bakteri yang jelek dan beberapa koloni mungkin berkembang dalam ukuran yang tidak terlihat.

Saturday, 14 June 2014

LAPORAN PRAKTIKUM AFP

LAPORAN PRAKTIKUM
ANALISIS FORMULASI PAKAN

OLEH
DIAN FITRIA M



LABORATORIUM NUTRISI IKAN
JURUSAN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2013


KATA PENGANTAR


Puji dan Syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan kasihNya penulis dapat menyelesaikan laporan praktikum analisis formulasi pakan ini. Laporan ini dikerjakan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau.
            Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada Ibu Ir. Adelina, Ms yang telah memberi materi yang berkaitan dengan praktikum, para asisten dosen yang telah membimbing serta rekan- rekan yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu yang telah membantu hingga selesainya laporan praktikum ini
Penulis menyadari dalam penyusunan laporan praktikum ini masih ada terdapat kekurangan, sehingga penulis sangat mengharapkan saran yang membangun demi kesempurnaan usulan penelitian ini.


Pekanbaru, Desember 2013


PENULIS

DAFTAR ISI

Isi                                                                                                                      Halaman

KATA PENGANTAR................................................................................                 i
DAFTAR ISI................................................................................................                ii
DAFTAR LAMPIRAN...............................................................................                v
 I.      PENDAHULUAN..................................................................................                1
1.1.      Latar Belakang................................................................................                1      
1.2.      Tujuan dan Manfaat........................................................................                2
II. TINJAUAN PUSTAKA........................................................................                4      
III. METODE PRAKTIKUM.................................................................. .                7
3.1.     Waktu dan Tempat........................................................................ .                7      
3.2.     Bahan dan Alat.............................................................................. .                7
3.3.     Metode Penelitian.......................................................................... .                7
3.4.     Prosedur Praktikum..........................................................................                7

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.......................................................... .              11
4.1.       Hasil .............................................................................................. .              11      
4.1.1. Pembuatan Pakan Berupa Pelet.............................................. .              11
4.1.2. Analisis Kualitas Fisik Pelet.....................................................              12
4.1.3. Analisis Kualitas Kimiawi Pelet...............................................              12
4.1.4. Pengamatan Pertumbuhan Ikan................................................              14
     4.2. Pembahasan........................................................................................              16

V. KESIMPULAN DAN SARAN........................................................... .              19

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN






DAFTAR LAMPIRAN


Lampiran                                                                                                        Halaman

1.      Alat dan Bahan yang digunakan selama praktikum.................................              22


I.                   PENDAHULUAN

1.1.             Latar Belakang
Keberhasilan dalam melakukan kegiatan budidaya dipengaruhi oleh 3 faktor penting yaitu Breeding (bibit), feeding (pakan), dan management. Namun selama ini faktor terpenting yang menjadi kendala dan problematika dalam melakukan kegiatan budidaya yaitu makanan atau pakan ikan.
Pakan merupakan salah satu faktor pembatas dalam melakukan kegiatan budidaya karena mempunyai peranan yang sangat penting baik ditinjau dari faktor penentu pertumbuhan maupun dilihat dari segi biaya produksi. Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa dilihat dari total biaya produksi dalam kegiatan budidaya, pakan (pakan buatan) memberikan kontribusi kebutuhan biaya operasional mencapai 60% dari biaya produksi. Tentunya dalam hal ini pakan merupakan kebutuhan termahal dari kegiatan budidaya. Untuk itu diperlukan adanya manajemen aplikasi pakan yang baik yang harus sesuai kondisi dengan media hidup serta jenis ikan dan tingkat kebutuhan ikan yang dibudidayakan agar pakan dapat dimanfaatkan secara optimal untuk pertumbuhan dan perkembangan serta kelangsungan hidup ikan tersebut.
Ikan merupakan organisme air yang menggunakan protein sebagai sumber energi utama. Lain halnya dengan manusia yang menggunakan karbohidrat sebagai sumber energi utamanya. Sehingga sebelum membuat suatu formulasi pakan, hal penting untuk diketahui adalah kebutuhan nutrisi bagi organisme yang akan memanfaatkan bahan pakan tersebut. Selain itu juga harus diketahui jenis bahan pakan apa saja yang digunakan serta bagaimana kandungan gizi dalam bahan pakan tersebut, sehingga dapat ditentukan berapa banyak bahan pakan yang diperlukan untuk membuat suatu formulasi pakan.
Dalam membuat formulasi pakan, kandungan nutrisi yang dibutuhkan ikan perlu diketahui terlebih dahulu. Banyaknya zat-zat gizi yang dibutuhkan ikan tergantung dari spesies, ukuran serta kondisi lingkungan ikan itu hidup. Nilai nutrisi (gizi) pakan pada umumnya dilakukan melalui analisa proksimat. Beberapa kandungan gizi yang perlu untuk diketahui dalam rangka menyusun ransum pakan yaitu protein, lemak, karbohidrat yang terdiri dari BETN dan serat, serta abu.

1.2.            Tujuan dan Manfaat
Tujuan dan manfaat selama praktikum analisis formulasi pakan adalah:
·         Mahasiswa mampu memformulasi pakan ikan dengan metoda bujur sangkar
·         Mahasiswa mampu menyusun pakan ikan dengan menggunakan bahan-bahan yang ada dilingkungan sekitarnya yang mempunyai harga relatif murah.
·         Mahasiswa mampu mengenal beberapa peralatan yang digunakan dalam pembuatan pakan ikan berupa pelet
·         Mahasiswa mampu menyiapkan bahan-bahan baku pakan yang dibutuhkan dalam pembuatan pelet
·         Mahasiswa mampu membuat pakan berupa pelet
·         Mahasiswa mampu mengetahui kualitas pelet secara fisik dengan melihat faktor-faktor yang mengurangi kualitas fisik pelet dan mengetahui cara mengatasinya.
·         Mahasiswa mampu mengetahui kualitas pelet secara kimiawi dengan melihat kadar air, analisa protein kasar, analisa kadar lemak,penetapan aby, serat kasar dan karbohidrat
·         Mahasiswa mampu menguji kualitas pakan yang dibuat sendiri dengan mengamati pertumbuhan benih ikan
·         Mahasiswa mampu mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan benih ikan selama waktu pemeliharaan

















II.                TINJAUAN PUSTAKA

Bahan pembuatan pakan ikan dapat digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu bahan baku dan bahan tambahan (bahan pelengkap). Bahan baku pembuatan pakan ikan meliputi dedak halus (bekatul), tepung ikan, dan bungkil kedelai. Bahan tambahan pembuatan pakan ikan meliputi tepung jagung, tepung kepala udang, minyak ikan, sumber vitamin, dan mineral (Djarijah, 1998).
Tepung ikan dibuat dari ikan rucah yang dikeringkan dan digiling halus. Kualitas tepung ikan sangat tergantung pada kualitas dan jenis ikan sebagai bahan utamanya. Penyediaan tepung ikan dapat dibuat sendiri atau membeli langsung dari pabrik atau distributor atau kios pengecer. Namun kadang kala ketersediaan tepung ikan di alam sangat langka.Tepung ikan merupakan sumber protein hewani (Mudjiman, 1987).
Salah satu bahan pakan sumber protein nabati sebagai penyusun utuma pakan ikan adalah kacang-kacangan. Kacang-kacangan yang utama adalah kacang kedelai. Kacang kedelai merupakan sumber utama bahan pakan ikan yang mempunyai kandungan protein berkisar 40-45%. Problem utama dari kacang kedelai adalah tingkat ketersediaannya yang masih jarang. Problem kacang kedelai yang lain adalah adanya anti nutrisi dan anti tripsin yang mengganggu metabolisme tripsin (Girindra, 1971).
Bahan perekat pakan ikan biasanya merupakan bahan makanan yang mengandung karbohidrat atau yang banyak patinya. Contoh bahan perekat tersebut adalah agar-agar, gelatin, tepung terigu, tepung sagu, dll. Namun yang paling baik adalah tepung kanji dan tapioka. Tepung tapioka banyak digunakan sebagai bahan pengental, bahan pengisi dan bahan pengikat bahan lain dalam industri makanan. Penggunaan bahan-bahan perekat tersebut hanya 10% (Anonim, 2011).
Pembuatan pakan ikan tidak mutlak harus disusun sesuai dengan ketentuan hasil perhitungan, tetapi komponen-komponennya tidak boleh menyimpang. Misalnya, jumlah dedak halus dapat dikurangi tetapi sebagai penggantinya ditambahkan tepung jagung. Setelah semua bahan ditentukan, langkah berikutnya adalah menimbang bahan-bahan tersebut. Bahan-bahan yang telah ditimbang dimasukkan ke dalam wadah dan diaduk sampai rata kemudian tambahkan air secukupnya. Dikukus dalam panci alumunium sampai matang, kemudian dicetak dan dijemur (Djajasewaka, 1985).
Analisis kualitas pelet dapat di uji dengan uji fisika dan kimia. Pengujian fisik dilakukan dengan mengukur tingkat kehalusan bahan pernyusunnya, kekerasan, dan daya tahan hasil cetakan di dalam air. Kehalusan bahan pellet dapat dilihat dengan mata yaitu dengan menggiling atau menghancurkan contoh pellet yang akan diuji. Pengamatan tingkat kepadatan atau kekerasan dapat dilakukan dengan memberi beban pada contoh pellet yang akan diuji. Dan pengujian daya tahan dilakukan dengan cara meremdam contoh pellet yang akan diuji selama beberapa waktu di dalam air. Pellet ikan yang baik mempunyai daya tahan di dalam air minimal 10 menit (Akbar, 2000).
Pengujian kimia dilakukan di dalam laboratorium. Pengujian ini dimaksudkan untuk mengetahui kandungan zat-zat gizi pakan ikan. Beberapa komponen zat-zat gizi yang perlu diketahui adalah kandungan protein, lemak, karbohidrat, abu, serat kasar, dan kadar air. Pellet yang baik memiliki kadar air maksimal 10%, kandungan abu dan seart kasar maksimal 5%, kadar protein minimal 25%,  lemak antara 5-7%, dan karbohidrat antara 16-18% (Zuheid, 1990)






















III.             METODE PRAKTIKUM

3.1.            Waktu dan Tempat
Praktikum dilaksanakan dari bulan oktober samapi november 2013 yang dilaksansakan di laboratorium Nutrisi Ikan milik Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau.

3.2.            Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan selama praktikum adalah timbangan analitik, akuarium, aerator, alat penggiling daging, baskom kecil, stopwach, cawan porcelen, oven,desikator, labu penyaring, erlemeyer, tepung ikan, tepung kedele, tepung terigu, dedak halus, ampas tahu, tepung bekicot, vit mix, mineral mix, minyak ikan, pelet, HCL,  H2SO4 dan alkohol.

3.3.            Metode Praktikum
Metode yang digunakan selama praktikum analisis formulasi pakan adalah metode pengamatan secara lansung pada objek yang bersangkutan yaitu berupa ikan-ikan uji serta proses pembuatan pakan dengan adanya uji fisik dan kimia.

3.4.            Prosedur Praktikum
Proses pembuatan pelet :
·         Bahan-bahan baku yang akan digunakan dihancurkan menjadi partikel-partikel kecil/tepung
·         Setiap bahan ditimbang sesuai dengan hasil formulasi
·         Bahan-bahan pakan dicampur mulai dari yang paling sedikit jumlahnya hingga yang terbanyak, hingga homogen dengan menambahkan air hangat
·         Apabila telah homogen, maka dicetak dengan menggunakan alat penggiling daging. Keringkan dibawah matahari.
Analisis kualitas fisik pelet :
·         Wadah toples diisi dengan air. Kemudia dimasukkan pelet yang telah dibuat.
·         Hitung berapa lama waktu yang dibutuhkan setiap potongan pelet tetap dalam leadaan utuh, mulai pecah, mulai hancur, terapung dan tenggelam.
Menghuitng kadar air :
·         Cawan kosong ( dioven selama lebih kurang 10 menit, suhu 1050C)
·         Cawan didinginkan dalam desikator selama 30 menit. Timbang cawan (berat A)
·         Dihitung sampel (pelet) di dalam cawan dengan berat B
·         Cawan plus sampel dikeringkan dalam oven (Selama 4 – 5 jam)
·         Cawan plus sampel didinginkan selama 30 menit
·         Timbang berat C
% AIR  = B – C          x 100%
                 B – A
            Menghitung kadar abu :
·         Cawan kosong dipanaskan dalam tanur (4000C) selama 1 jam, kemudian diutunkan temperatur sampel 1000C – 1500C, dinginkan dalam desikator selama 30 menit. Cawan ditimbang dengan berat A
·         Sampel (pelet) dengan cawan ditimbang dengan berat B
·         Cawan dan sampel diabukan kedalam tanur  (600C) selama 5 jam. Turunkan temperaturnya samapi 1000C – 1500C, dinginkan dalam desikator selama 30 menit. Ditimbang dengan berat C
%ABU = C – A          x 100%
                B – A
            Penentuan kadar lemak :
·         Pengeringan abu lemak dalam oven (1500C) selama lebih kurang 10 jam
·         Labu lemak didinginkan dalam desikator selama 30 menit kemudian ditimbang berat A
·         Ditimbang sampel diatas kertas saring seberat lebih kurang 5 gr
·         Labu dipasang pada alat ekstraksi dan sampel dimasukkan dalam timbar ekstraksi (soxhlet)
·         Dilakukan ekstraksi selama 4 – 5 jam. Mengeluarkan residu sampel. Pemngambilan pelarut. Pengeringan labu lemak dalam oven selama 45 menit. Dinginkan labu lemak dalam desikator selama 30 menit. Ditimbang lemak dengan berat B
% LEMAK = B – A         x 100%
                      gr sampel
            Penentuan serat kasar :
·         Sampel ditimbang lebih kurang 1 gr kedalam erlemeyer ditambah 150 ml H2SO4 1,25%. Panaskan hingga mendidih, dan didinginkan selama 30 menit. Saring kemudian ambil residunya.
·         Residu dimasukkan kedalam erlemeyer semual ditambahkan 150 ml NaOH 1,25 %. Panaskan hingga mendidih kemudian dinginkan selama 30 menit. Saring dengan kertas saring yang telah ditimbang dengan berat A
·         Residu dicuci dengan H2SO4 1,25 % panas sebanyak 3 x 25 ml
·         Residu dicuci dengan alkohol 50 ml
·         Residu dan kertas saring dimasukkan kedalam cawan porselen yang telah ditimbang dengan berat A
·         Cawab plus residu dan kertas dikeringkan dalam oven (1050C) selama 3 jam. Dinginkan dalam desikator selama 30 menit timbang berat dengan B
·         cawan dan residu kerats saring diabukan dalam turnance suhu 600C) sealama 4 jam. Dinginkan dalam desikator selama 30 menit. Maka dapat berat C
% SERAT KASAR = B – C – A       x 100%
                                    Gram sampel
            Pengamatan pertumbuhan ikan :
·         Akuarium diisi dengan air secukupnya dengan adanya perlengakapan aerasi. Kemudian ikan dimasukkan kedalam akuarium tersebut.
·         Setiap harinya ikan diberi pakan dengan 10% bobot tubuh ikan.










IV.             HASIL DAN PEMBAHASAN
                                                    
4.1.      Hasil
4.1.1    Pembuatan Pakan Berupa Pelet
Pelet yang dihasilkan adalah pelet yang terbuat dari beberapa macam bahan yang telah diolah sehingga bisa dicampurkan mulai dari bahan yang jumlahnya sedikit hingga yang terbanyak dengan menggunakan pengaduk sehingga menjadi homogen. Pembuatan pelet ini adalah dalam skala laboratorium dimana proses pembuatannya sangat sederhana dan peralatan yang digunakan juga sangat sederhana. Bahan-bahanya adalah bekicot, kepala ikan, dedak, ampas tahu yang semua itu dibuat menjadi tepung kemudian minyak, vitamin dan mineral. Komposisi proteinnya adalah 35 % dimana telah dibuat secara metode komputerisasi.

   Jenis Bahan

Jumlah Bahan  % 

Protein %

Lemak %

   BETN
Tepung Ikan  
Tepung Bekicot
Ampas Tahu 
Dedak
Tepung Terigu
Vit mix
Mineral misx
Minyak Ikan
38
25
21
5
5
2
2
2
40
54
24
13
12,27
0
0
0
7
6
26
16
2
0
0
100
0,5
15
4
50,5
86
0
0
0


4.1.2. Analisis Kualitas Fisik Pelet
Analisis kualitas fisik pelet dapat dilihat dengan berbagai cara seperti dengan mengukur kandungan-kandungan nutriennya dan melihat pertumbuhan ikan yang diberi pakan tersebut serta dapat diketahui dengan melihat tampilan fisik pelet dan ketahanan menggumpalnya pelet tersebut di dalam air. Pada praktikum ini hasil pengamatan yang dilakukan adalah sebagai berikut :
Ø  Lama waktu yang dibutuhkan setiap potong pelet tetap dalam keadaan utuh/menggumpal adalah 5,5 jam yaitu dari jam 15.00-20.30 WIB
Ø  Lama waktu yang dibutuhkan pelet ketika mulai pecah adalah 2 jam yaitu dari jam 20.30-22.12 WIB
Ø  Lama waktu yang dibutuhkan pelet ketika mulai hancur adalah 10 jam yaitu dari jam 22.19-10.00 WIB
Ø  Sedangkan waktu yang dibutuhkan pelet ketika mulai tenggelam adalah sangat cepat yaitu sekitar 2,6 detik. Hal ini disebabkan oleh pelet yang dibuat adalah pelet tenggelam. Pengamatan dilakukan selama 24 jam.

4.1.3. Analisis Kualitas Kimiawi Pelet
a. Kadar Air

% Air = ? x 100 %

           = ? x 100 %

           = 12,32 %

b. Kadar Abu

% Abu = ? x 100 %

           = ? x 100 %

           = 27,96  %
c. Kadar Lemak
    Diketahui A= 111,96% B= 26,230
    % Lemak= ? x 100 %
                   = 26,230 – 111,962   x 100%
                             4,97 gr
                   =    85,73    x 100 % 
                         4,97 gr
                   =   1,72 %

d. Kadar Protein
% Protein = ?  x 100 %
= 3,35 x 0,1501 x 14,077 x 6,25       x 100%
                     0,5 x 1000
= 35,39 %     

e. Serat Kasar

Diketahui  A= 23,581 B= 24,889 dan C= 23,808
=     B - C – A   x 100%
          gr Sampel

=     24,889 – 23,808 – 23,581 x 100%
                     0,963
=    -22,5   x 100%
                   0,963
            =   2,33 %
4.1.4. Pengamatan Pertumbuhan Ikan
 Ikan yang digunakan saat praktikum adalah ikan baung. Dengan hitungan berat tubuh ikan dan pakan sebagai berikut:
·         Minggu ke pertama
Ø  Berat ikan = 30 gr
Ø  Berat rata-rata ikan =  30 gr/ 20 ekor = 1,62 gram
Ø  Konversi pakan (10%) = 10/100 x 32,5 gram = 3,25 gram
Ø  Jumlah pakan sekali pemberian = 3,25 gram/ 3 kali = 1,08 gram
Ø  Jumlah pakan satu minggu = 3,25 gr x 7hari (3 kali)=  22,75  gram
·         Minggu ke tiga
Ø  Berat ikan = 32,7 gr
Ø  Berat rata-rata ikan =  32,7 gr/ 20 ekor = 1,63 gram
Ø  Konversi pakan (10%) = 10/100 x 32,7 gram = 3,27 gram
Ø  Jumlah pakan sekali pemberian = 3,27 gram/ 3 kali = 1,09 gram
Ø  Jumlah pakan satu minggu = 3,27 gr x 7hari (3 kali)=  22,89  gram
·         Minggu ke empat

Berat ikan = 33,4 gr
Berat rata-rata ikan =  33,4 gr/ 20 ekor = 1,67 gram
Konversi pakan (10%) = 10/100 x 33,4 gram = 3,34 gram
Jumlah pakan sekali pemberian = 3,34 gram/ 3 kali = 1,11 gram
Jumlah pakan satu minggu = 1,83 gr x 7hari (3 kali)=  23,38 gram
·         Minggu ke lima
Berat ikan = 36 gr
Berat rata-rata ikan =  36 gr/ 20 ekor = 1,8 gram
Konversi pakan (10%) = 10/100 x 36 gram = 3,60 gram
Jumlah pakan sekali pemberian = 3,60 gram/ 3 kali = 1,2 gram
Jumlah pakan satu minggu = 3,6 gr x 7hari (3 kali)=  25,20 gram

LPS  =   LnWt – LnWo x 100%
                        T
         = Ln 36 gram – Ln 30 gram  x 100%
                          28 hari
         = 5,23 – 4,97    x 100 %
                   28 hari

         = 0,65 %

EP     =   (Wt + D) – Wo x 100%
                        F
         = 36 gram +  0 gram – 30 gram       x 100%
                    94,22 gram

         =  0,063 x 100%

         =  6,33  %

SR    =   Nt  x 100%
              No
                     = 20/20 x 100 %
                     = 100 %

4.2. Pembahasan
Pemberian pakan pada ikan memiliki tujuan yaitu menyediakan kebutuhan gizi untuk kesehatan yang baik, pertumbuhan dan hasil panenan yang optimum, produksi limbah yang minimum dengan biaya yang masuk akal demi keuntungan yang maksimum. Konversi yang efisien dalam memberi makan ikan sangat penting bagi pembudidaya ikan sebab pakan merupakan komponen yang cukup besar dari total biaya produksi.
Pada umumnya ikan membutuhkan protein sekitar 20 – 60%, dan optimum 30 – 36%. Protein nabati biasanya miskin metionin, dan itu dapat disuplau oleh tepung ikan yang kaya metionin. Kebutuhan ikan akan lemak bervariasi antara 4 – 18%. Ikan karnivora biasanya membutuhkan karbohidrat sekitar 12%, sedangkan untuk omnivora kadar karbohidratnya dapat mencapai 50%.
 Menurut Supardjo (2008) bahan baku pakan adalah bahan-bahan yang akan digunakan untuk membuat pakan buatan yang sudah disesuaikan dengan jenis ikan yang akan mengkonsumsi pakan buatan tersebut. Dalam hal ini bahan baku pakan yang digunakan yaitu tepung ikan teri, tepung kedelai, tepung jagung dan tepung tapioka. Dimana menurut Ekasari (2009), bahan-bahan tersebut tergolong dalam bahan baku hewani dan bahan baku nabati. Bahan-bahan tersebut memiliki kandungan nutrisi yang cukup bagus untuk dijadikan pakan. Hal ini sesuai dengan yang telah diuraikan oleh Anonim (2010), bahwa kandungan nutrisi ikan teri yakni 63,76% protein, 4,1% karbohidrat, 3,7% lemak; tepung kedelai mengandung 39,6% protein, 29,50% karbohidrat, 14,30% lemak; tepung jagung mengandung protein hanya 7,63%, karbohidrat 74,23%, lemak 4,43%. Selain itu juga ditambahkan pula tepung tapioka sebagai bahan perekat dengan kandungan nutrisi yaitu protein : 8,9%; lemak ; 1,3%; karbohidrat : 77,3%; abu ; 0,06%; air : 13,25% (Anonim, 2010).
Adanya perbedaan daya tahan pakan dalam air pada masing-masing kelompok ini disebabkan karena kekompokan pada partikel pakan yang berbeda. Dimana semakin kompak tekstur suatu pakan maka semakin tahan ia berada dalam air. Kekompakan tekstur pakan yang berbeda ini disebabkan karena adanya penambahan bahan perekat berupa tepung tapioka pada beberapa kelompok yakni pada kelompok 2, 4 dan 8. Dimana tepung tapioka ini dapat melengketkan bahan baku karena kandungan karbohidratnya yang tinggi yakni 77,3% (Anonim, 2010). Menurut Vannesa (2008), pakan yang baik secara fisik yaitu yang mempunyai daya larut 2-3 jam. Pakan yang hancur di bawah 2-3 jam kurang baik untuk diberikan ke ikan karena pakan tersebut cepat hancur dan kesempatan ikan untuk memakannya relatif sedikit sedangkan pakan yang hancur lebih dari 2-3 jam kurang baik juga untuk ikan karena pakan tersebut akan lama dicerna oleh ikan karena teksturnya yang sulit terurai (keras).
Kecernaan adalah suatu parameter yang menunjukkan berapa dari makanan yang dikonsumsi dapat diserap oleh tubuh, karena dalam suatu proses pencernaan selalu ada bagian makanan yang tidak dapat dicerna dan dikeluarkan dalam bentuk feses. Ikan mempunyai kemampuan mencerna yang berbeda dengan hewan darat (Darsudi, 2008).
Menurut Suparjo (2008), kecernaan pakan dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu: keberadaan enzim dalam saluran pencernaan ikan, tingkat aktivitas enzim-enzim pencernaan dan lamanya pakan yang dimakan bereaksi dengan enzim pencernaan. Masing-masing faktor tersebut akan dipengaruhi oleh faktor sekunder, yang berhubungan dengan spesies ikan, umur, dan ukuran ikan,kondisi lingkungan dan komposisi, ukuran serta pakan yang dikonsumsi.

V.                 KESIMPULAN DAN SARAN


5.1.      Kesimpulan
           
Kadar protein yang digunakandalam pembuatan pelet untuk ikan baung adalah 35 %. Kadar air dalam pakan buatan 12,32 %kadar abu 27,96  %, kadar lemak 1,72 %, kadar protein 35,39 % dan serat kasar 2,33 %. Pertumbuhan ikan baung yang didpat selama proses pemeliharaan, mendapatkan LPS 0,65 %, EP 6,33  % dan SR 100 %.
Lama waktu yang dibutuhkan setiap potong pelet tetap dalam keadaan utuh/menggumpal adalah 5,5 jam, Lama waktu yang dibutuhkan pelet ketika mulai pecah adalah 2 jam, Lama waktu yang dibutuhkan pelet ketika mulai hancur adalah 10 jam dan sedangkan waktu yang dibutuhkan pelet ketika mulai tenggelam adalah sangat cepat yaitu sekitar 2,6 detik. Hal ini disebabkan oleh pelet yang dibuat adalah pelet tenggelam. Pengamatan dilakukan selama 24 jam.

5.2.      Saran
            Agar praktikum dapat berjalan dengan lancar, maka diharapkan kepada para praktikan untuk tertib selama menjalankan praktikum. Butuh ketegasan para asisten dosen dalam membimbing para praktikan. 

DAFTAR PUSTAKA

carii sendirii yooo...!!!


 

















LAMPIRAN
























Lampiran 1. Alat dan Bahan yang digunakan selama praktikum


carii sendirii yooooo...!!!!!






BAB I PENDAHULUAN 1.1. Laatar Belakang Kualitas air adalah istilah yang menggambarkan kesesuaian atau kecocokan air untuk pengg...